Di Universitas Windsor ia berhadapan dengan interaksi berbagai
(2).Cahaya Hidayah Menerangi Budaya Keterbukaan…
DR. NAJAT
Dr. Najat dilahirkan, dibesarkan, dan mendapatkan pendidikan di
India. Ia datang ke Windsor, Kanada untuk melanjutkan studinya ke
tingkat Pasca-Sarjana. Saya tidak menuliskan nama aslinya karena begitu
panjang dan sulit diucapkan. Dari nama aslinya itu saya bisa mengetahui
bahwa ia berasal dari keluarga Hindu yang taat yang menamakannya
dengan nama khas Hindu. Ia memperoleh pendidikan agama yang sangat
ketat, dan ia terapkan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh sejauh
kesanggupannya selama ia menetap di India.
Di Universitas Windsor ia berhadapan dengan interaksi berbagai
gagasan dan aneka budaya yang berjalan begitu sehat. Sebagaimana para
mahasiswa yang lain, ia pun berpikiran terbuka. Ia ingin menjadikan
hidupnya penuh makna bagi dirinya sendiri. Akibatnya, ia tidak merasa
nyaman dengan gagasan dan penerapan ajaran Hindu yang dianutnya.
Maka mulailah ia mempelajari kitab Injil Kristiani. Ia pun merasa ajaran
ini lebih memuaskan akalnya daripada agama yang sejak semula
diyakininya. Maka iapun menerima ajaran kristiani sebagai keyakinan
barunya, ia jalani dengan tulus-hati hingga setahun lebih. Namun
kemudian ia merasa tidak memperoleh puncak pemuasan ruhaniah atas
pencarian dalam dirinya. Mulailah ia melirik Islam dan menggali Ideologi
Islam. Perang batiniah religius pun berlangsung dalam dirinya, bersamaan
dengan berjalannya kegiatan studi doktoralnya di bidang Rekayasa
Teknologi.
Kampus-kampus perguruan tinggi di Kanada menyuguhkan suasana
unik dalam kebebasan memilih dan menjalani pilihan masing-masing
individu. Adakalanya, perdebatan yang membangun sikap saling
pengertian pun diselenggarakan antara para ulama/sarjana Yahudi, Kristen
(Nasrani), dan Muslim, dalam suasana yang amat sehat. Maka terbukalah
pintu pengetahuan bagi banyak orang yang selama ini terkungkung oleh
pendapat pribadinya. Dan, Najat pun mempelajari lebih banyak lagi perihal
Islam dari berbagai sumber. Ini membawa cakrawala kesadarannya untuk
cenderung memilih Tuhan Yang Esa ketimbang beribadah kepada
bermacam-macam ‘tuhan’. Didalam Islam, ia menemukan
keajegan/konsistensi dan kesinambungan logis daripada semua ajaran yang
lain. Maka ia pun memeluk Islam dan memilih nama Najat sebagai nama
islaminya. Semoga Allah SWT memelihara keIslamannya, mengingat
bahwa masuk Islam itu sangatlah mudah sementara tumbuh-kembangnya
pemahaman ajaran Islam didalam diri seringkali berlangsung begitu
lambat.
Najat menyadari bahwa untuk menerapkan Islam secara tulus-ikhlas
adalah dengan jalan ia menikah sesegera mungkin. Keinginannya ini
dengan cepat terkabul. Ia menikah dengan seorang gadis Muslimah
terpelajar yang berasal dari keluarga terhormat di Windsor. Upacara
pernikahan mereka berlangsung di Masjid Windsor. Najat bukan hanya
telah lulus dalam kehidupan berumah-tangga, karena pada waktu itu ia pun
telah lulus dari Universitas Windsor dengan meraih gelar doktoralnya.
Selanjut DR. Najat pun berusaha mendapatkan pekerjaan. Ia mendapat
tawaran istimewa dari Ford Company di Detroit. Iapun menerima tawaran
itu dan bersama keluarganya ia berpindah ke Farmington Hills, sebuah
kawasan permukiman di pinggiran Detroit.
Sebuah masjid baru dibangun di wilayah ini, namanya Tawheed
Center of (Pusat Tauhid) Farmington Hills, Michigan. Di masjid inilah
beberapa kali saya bertemu dengannya.
Suatu hari, saya bertanya
kepadanya perihal kemampuannya membaca Al-Qur’an dalam tulisan
aslinya, yakni huruf Arab. Betapa terkejutnya saya mendapati kenyataan
bahwa seorang Najat yang begitu berbakat belum bisa membaca Al-Qur’an
dalam bahasa Arab. Alasannya sudah jelas, banyak umat Muslim yang
tidak sanggup meluangkan waktu untuk membimbing orang lain
mempelajari Islam dengan pola orang per orang. Jika terus menerus
demikian, banyak orang yang berkemauan belajar menjadi telantar ataupun
kecewa. Tanpa pengorbanan waktu pribadi akan sangat sulit mencapai
kemajuan dalam hal apapun. Ungkapan keprihatin sebatas kata takkan
bermanfaat. Saya pun terang-terangan bertanya kepada Ny. Najat,
“Mengapa anda belum mengajarkan abjad Arab kepada suami anda,
sedangkan anda berdua telah beberapa tahun menikah ?” Namun ia tidak
bisa memberikan jawaban yang memuaskan. Maka saya katakan kepada
DR. Najat, “ Mari kita buat kesepakatan. Luangkan waktu anda empat
akhir pekan bersama saya, maka saya jamin anda akan mampu membaca
Al-Qur’an. Insya Allah (dengan perkenan Allah SWT)!” Kami pun sepakat
untuk bertemu di Tawheed Center selama beberapa jam seusai shalat
Subuh. Sebuah kejutan yang menggembirakan terjadi, setelah berlangsung
empat akhir pekan, DR. Najat telah bisa membaca Al-Qur’an dalam bahasa
Arab. Hal ini membangkitkan semangat para pembelajar potensial yang
lain. Banyak saudara-saudara Muslim yang mulai menerima murid baru
dengan pola orang per orang (satu murid satu pembimbing). Kami pun
dikagetkan oleh seorang Doktor Medik (bergelar ‘MD’) kelahiran Amerika
pun bergabung dalam kelompok bimbingan sebagai murid baru. Kegiatan
pagi hari ini seringkali dilanjutkan dengan sarapan bersama di Masjid.
DR. Najat telah bisa membaca berbagai surah dari Juz terakhir Al-
Qur’an. Namun ia masih memerlukan guru yang lebih baik daripada saya.
Seorang akhi (saudara muslim lelaki) asal Syria yang berusia lebih tua dari
saya; Syeikh Al-Atasy; bersedia mengajar DR. Najat secara privat. Ia pun
mulai bisa menikmati pembacaan Al-Qur’an setelah belajar cara
pengucapan yang benar dari seorang guru berpengalaman yang mampu
berbahasa Arab. Baik Syeikh Al-Atasy maupun Najat, amat menyukai
kegiatan mereka ini dan menambahkan waktu belajarnya menjadi setiap
hari sesudah shalat Subuh selama sekitar satu setengah jam. Seusai belajar,
Najat langsung berangkat dari masjid menuju tempat kerjanya. Sepulang
bekerja ia membawa serta keluarganya mengikuti jama’ah shalat Isya’ di
Masjid.
Syeikh Al-Atasy dan Akhi Najat sangat mementingkan
kelangsungan pembelajaran Al-Qur’an yang mereka lakukan. Ketika
musim dingin tiba, Detroit mengalami musim dingin yang sangat buruk.
Mereka bersusah payah menembus salju dan hujan badai demi tak terlewat
seharipun untuk belajar. Syeikh Al-Atasy begitu bangga dengan muridnya.
Ia suka mengatakan kepada saya, “Pengucapan bacaan Najat sudah lebih
baik daripada anda.” Najat tidak hanya bagus sekali dalam membaca Al-
Qur’an, iapun sanggup membaca Al-Qur’an dari manapun anda
membukakan untuknya Kitab Al-Qur’an. Ia juga mulai membaca tafsir Al-
Qur’an yang ditulis dalam bahasa Inggris. Dengan demikian ia telah mulai
mengapresiasi ayat-ayat Al-Qur’an beserta maknanya secara keseluruhan.
Tidak berhenti sampai disini, ia pun mulai menghafal Al-Qur’an. Terakhir
kali kami berjumpa, ia telah menghafal setengah dari Juz terakhir Al-
Qur’an (Juz ‘amma).
Betapa sulit mendapat sukarelawan untuk kegiatan lingkungan.
Sebagian besar orang asyik melemparkan kritik ataupun membesarbesarkan
hal kecil yang mereka telah lakukan. DR. Najat-lah yang tanpa
banyak bicara ataupun keinginan menonjolkan diri di depan saya, telah
menjadi relawan untuk menjalankan hubungan kemasyarakatan Masjid.
Seringkali ia membukakan pintu Masjid untuk shalat Subuh meskipun ia
bertempat tinggal paling jauh jaraknya dari masjid. Ia menyingkirkan salju
dari jalan setapak dan lorong menuju pintu utama masjid, menaburi
permukaannya dengan garam agar orang yang lewat tidak jatuh
terpelanting yang bisa berakibat patah tulang. Pelayanan yang diberikan
Najat ini adalah hal pokok dan teramat penting bagi komunitas kami.
Sebab, setiap orang yang cidera akibat terjatuh di area Masjid dapat dengan
mudah mengajukan tuntutan akibat menderita kerusakan yang besar.
Sebagai akibatnya, perusahaan asuransi akan menolak memberikan
jaminan pertanggungan atas tempat umum seperti ini.
DR.Najat juga membantu penyelenggaraan Sekolah Islam Akhirpekan
di Masjid. Maka iapun bertugas untuk membuka lagi masjid
sebelum waktu Dzuhur, dan menyingkirkan salju, menaburkan garam,
sebelum para guru dan murid berdatangan. Menjadi penarik dana
pendidikan sekolah kepada para orangtua murid bukanlah pekerjaan yang
menyenangkan, inipun dikerjakannya tanpa mengusik siapapun. Ia juga
suka berbelanja makanan ringan untuk dibagikan kepada anak-anak. Ia
bersihkan sendiri dapur masjid dan dicairkannya pula bunga-es didalam
kulkas secara berkala.
Suatu malam, saya menutup masjid seusai shalat Tarawih. Semua
jama’ah telah meninggalkan masjid. Saya padamkan lampu-lampu
diberbagai tempat satu demi satu. Sampai di tempat wudhu jama’ah lelaki,
betapa terkejutnya saya melihat DR. Najat sedang membersihkan kamar
kecil. Ada enam kamar kecil di tempat itu. Saya pun berterima kasih
kepadanya. Ia hanya tersipu dan tersenyum kecil kemudian berusaha
mengalihkan pembicaraan, ini menunjukkan bahwa menurutnya bukanlah
hal yang luar biasa bahwa ia membersihkan kamar kecil. Mungkin karena
ia mengenal dengan baik pepatah urdu berikut ini,
‘Keikhlasan pengabdian kepada Allah SWT bukanlah urusan
perdagangan. Maka hendaklah jangan berharap untuk mendapatkan
penghargaan, karena yang demikian itu akan melunturkan semangat
keikhlasan.’
Akhi Najat tidak membatasi dirinya pada kegiatan didalam masjid
saja, Lahan sekeliling masjid terbentang lebih dari 2.5 acre (hampir 1.2
hektar). Dan Najat mengerjakan pemupukan lahan yang berumput setiap
tahun. Ia beli sendiri pupuk dan pembasmi hama dengan uang pribadinya,
sebagaimana juga ia membeli garam untuk ditaburkan dimusim salju. Ia
rendah hati dan masih muda usia. Menebang pepohonan yang telah mati di
sekeliling masjid dikerjakannya juga.
Kami sangat menghargai pelayanannya selama Bulan Ramadhan
dimana biasa diselenggarakan acara jamuan makan (buka puasa) bersama
seminggu sekali. Ia membantu masing-masing penyaji dalam
mempersiapkan jamuan makan dan menyajikan kepada tamu lelaki dan
perempuan. Ia operasikan sendiri mesin penyedot debu (vacuum cleaner)
membersihkan masjid hampir setiap usai jamuan makan. Ia lebih suka
mengerjakan sendiri semua pekerjaan yang perlu dikerjakan, daripada
meminta atau menghimbau orang lain. Ia bekerja-sama dengan para
relawan lainnya mengatur dan menyajikan minuman lezat kepada jama’ah
seusai melaksanakan shalat Ied. Ia membina hubungan yang sangat erat
dengan para warga di lingkungan kami. Biasanya, ia juga mengundang
banyak keluarga ke rumahnya untuk mencicipi makanan ringan maupun
jamuan makan setelah penyelenggaraan shalat Ied. Dilakukannya hal itu
dari tahun ke tahun, dan tanggapan dari warga pun sangat
menggembirakan. Karena itulah, hal pertama yang saya lakukan setelah
menyampaikan khutbah Ied adalah segera berkunjung ke rumah akhi Najat
untuk menghibur diri saya dengan makanan-makanan yang serba lezat.
Semoga Allah SWT melimpahkan ganjaran kepada akhi Najat sekeluarga
atas keajegan dan ketulusannya memberikan pelayanan.
Suatu hari saya bertanya kepada akhi Najat, “Pengetahuan anda
perihal Al-Qur’an dan Islam cukup memadai. Bagaimanakah
sesungguhnya perasaan anda terhadap ajaran Islam?” DR. Najat menjawab,
“Dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya katakan sejujurnya, saya
sangat terpuaskan. Tidak pernah saya sepuas ini ketika saya menganut
Kristen maupun Hindu. Saya mendapati Al-Qur’an memberikan dampak
yang sangat melegakan akal dan kalbu saya.”
Kini akhi Najat bahkan sesekali menjadi Imam shalat. Nyatalah
disini tidak terdapat hirarki didalam Islam. Siapapun yang berpengetahuan
baik dan bertaqwa bisa menjadi pemimpin dalam pelaksanaan bermacam
pelayanan Islam. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“… Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
adalah yang paling bertaqwa…” (Al Hujuraat:13). Dalam Islam seorang
yang taqwa boleh menjadi pemimpin tanpa membedakan warna kulit,
kelompok, asal geografis maupun kebangsaan.
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------