Adian Husaini: BICARA SOAL PANCASILA
(1). Pancasila Bukan karya Soekarno, Tapi Muhammad Yamin
Jakarta (voa-Islam) – Peringatan hari kelahiran Pancasila pada 1 Juni, dan mengidentikkannya dengan Soekarno masih perlu penelaahan sejarah yang lebih serius. Bukti-bukti sejarah justru menunjukkan, bahwa rumusan Pancasila resmi lahir pada 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, lebih tepat jika hari lahir Pancasila jatuh pada tanggal 18 Agustus 1945.
“Tidak benar, jika hari kelahiran Pancasila jatuh pada tanggal 1 Juni, seperti yang diyakini sebagia kalangan pendukung Pancasila. Juga tidak sepenuhnya Pancasila merupakan gagasan Soekarno,” kata Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Dr. Adian Husaini dalam Seminar Sehari “Menelusuri Liku-liku Pancasila di Gedung Menara Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Jakarta, Senin (30 Mei 2011).
Ternyata ada banyak pendapat seputar peringatan hari kelahiran Pancasilam. Ada yang menyebut tanggal 22 Juni. Alasannya, pada 22 Juni 1945, untuk pertama kalinya dikeluarkan rumusan Pancasila secara rsmi yang disepakati semua faksi dalam Badan Penyelidik Usaha , Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Tetapi ada juga yang menyebutkan, bahwa kelahiran Pancasila justru pada tanggal 18 Agustus. Karena, pada tanggal tersebut Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menyepakati rumusan Pancasila.
Sedangkan yang meyakini hari lahir Pancasila jatuh pada tanggal 1 Juni, alasannya, pada tanggal tersebut adalah untuk pertama kalinya istilah disebutkan oleh Soekarni dalam Sidang BPUPK.
Tidak ada perbedaan fundamental antara lima asas Yamin dengan lima dasar Soekarno. Mengutip bukunya B.J Boland yang berjudul “The Struggle of Islam ini Modern Indonesia, menyimpulkan: Pancasila faktanya adalah karya Yamin dan bukan karya Soekarno.
Bahkan tentang nama Pancasila itu sendiri, diakui oleh Soekarno setelah ia mengkonsultasikan nama itu kepada seorang ahli bahasa, yang tidak lain adalah Muhammad Yamin.
Dalam buku “Sejarah Lahirnya Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila” disebutkan bahwa Soekarno pada tahun 1966 mengakui, kata “sila”” adalah sumbangan Yamin, sedangkan kata “Panca” berasal dari dirinya (Soekarno). Desastian
(2). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Bermakna Tauhid
atau Banyak Tuhan?
Jakarta (voa-islam) - Menurut Adian Husaini dalam sebuah seminar "Menelusuri Lika-liku Pancasila di Jakarta, semua pihak hendaknya menelusuri sejarah bagaimana Pancasila dijadikan slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis.
"Seperti diketahui, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekuler, namun lepas dari perspektif Islam (Islam worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945, sangat kental dengan nuansa Islam worldview." ujarn Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pascar Sarjana Universitas Ibnu Khaldun-Bogor ini.
Adian memberi contoh dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang besar pengaruhnya dalam penataan kebijakan politik dan ideology dimasa awal Orde Baru. Ali Moertopo pernah merumuskan Pancasila sebagai “ideology Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama.
okoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Peter Beek S.J juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama dan tidak condong pada satu agama. Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama.
Dikatakan Adian, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo menegaskan, “Segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurun historis maupun artinya serta pengertiannya, sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.”
Sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhasdap rumusan itu. Ia misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan.
Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Ki Bagus mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “ketuhanan”, sebagai diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK.
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif mencatat dalam bukunya “Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin”, pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan Yang Maha Esa.
Dengan fakta ini, tulis Syafii Maarif, tidak diragukan lagi, bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai peganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme). Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing.”
(3). Penyimpangan Tafsir Pancasila
Dengan demikian, tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-Satukan Allah. Bahkan kata Allah juga muncul di alinia ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah…”. Bukankah satu-satunya agama di Indonesia yang nama Tuhannya “Allah” hanyalah Islam? Bagi kaum Kristen, kata Allah bukanlah nama Tuhan, tetapi hanya sebutan untuk Tuhan di Indonesia. Karena itu, kaum Kristen di Barat tidak menyebut Tuhan mereka dengan nama Allah.
Adian Husaini menyesalkan terjadinya penyimpangan penafsiran Pancasila yang pernah dilakukan dengan proyek indoktrinisasi melalui Program P-4. Pancasila bukan hanya hanya dijadikan sebagai dasar negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasilan dijadikan landasan moral yang dijadikan sebagai wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, antara lain menegaskan: 1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara RI bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebaga dasar negara RI menurut pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang menjiwai sila lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 4) Penerimaan dan pengamalam Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya.
Kata Adian, tidak salah sama sekali, jika para cendekiawan dan politisi islam berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. “Jadi siapapun orang Indonesia yang bersungguh-sungguh dan ingin menegakkan Pancasila, tentunya mereka harus siap menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia. ● Desastian
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------