Bermula dari Mailing List:
Sejarah JIL Merusak Akidah Islam di Indonesia (1)
Kamis, 31/03/2011 16:49 WIB | email | print

Halal, Tapi Tuhan Tidak Suka”. Judul artikel menggelitik ini penulis dapatkan dari sebuah situs “Islam” tertanggal 6/10/2010.
Berkisah tentang sebuah klaim fiqih yang menyatakan murtad bagi seorang muslim adalah hal lumrah, artikel ini kemudian mengqiyaskan pemurtadan yang dilakukan tiap mukmin setara dengan kasus perceraian. Jadi, walaupun halal, tapi Tuhan Tidak suka. Begitu maksudnya.
Rupanya, kalimat Lâ Ikrâha fî ad-Dîn dalam Al Qur’an, bagi sang penulis adalah bukti tidak ada paksaan dalam beragama. 

Keterpaksaan dalam beragama hanya akan melahirkan sosok-sosok labil yang tidak memiliki dasar filosofis-rasional dalam beragama. Nyaris mirip dengan memilih Istri.
Bahkan dalam tulisan lain berjudul: “Salahkah Geert Wilders?” salah seorang penulis menyatakan bahwa Ayat-ayat Alquran dan hadis cukup banyak yang membenarkan pandangan Geert Wilders yang mengatakan Al Qur’an kitab bar-bar itu. Di akhir kalimat, sang penulis berujar:
“Orang yang meragukan Fitna Wilders dari sekarang harus menelaah Alquran, hadis-hadis, dan sejarah Islam dengan akal yang sesehat-sehatnya.”
Kisah diatas adalah dua kasus dari bentuk kesesatan situs Jaringan Islam Liberal yang kerap mengeluarkan artikel penyudutan terhadap ajaran Islam. Nama JIL yang sudah tenar akan kenyelenehannya, kini kembali menjadi populer pasca meledaknya Bom Utan Kayu dan seakan menyadarkan kita kembali bahwa JIL memang belum mati.
Betul memang nama JIL sempat redup, setelah desas-desus menyatakan mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ini disitir dari pendapat Ulil Abshar Abdala yang mengklaim bahwa dana asing itu terakhir diterima oleh JIL pada tahun 2004.
Oleh karena itu, dalam laporan khusus kali ini, kita akan mengupas sejarah, sepak terjang, detik-detik menjelang semakin redupnya JIL, hingga “kebangkitan” kedua JIL di mata publik lewat kiprahnya di dunia politik.

Sejarah Jaringan Islam Liberal
Kisah seputar berdirinya Jaringan Islam Liberal secara lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com pada kurun waktu awal milenium. Kala itu masih belum banyak pengikut dari milis ini, mengingat teknologi internet yang saat itu masih relatif baru dan belum populernya imej milis sebagai jejaring sosial di kalangan masyarakat.
Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk disatukan dalam milis ini. Mereka masih bercerai berai pada milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian di beberapa kalangan.
Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar Liberalisasi Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi oleh Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an.
Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Jogjakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.
Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan yang aktif terlibat isu Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978).
Sedangkan nama Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi titik penting akan kelahiran JIL. Naas mahasiswa Fisika UGM tersebut meninggal sesaat sebelum berangkat ke kantor Tempo sebagai wartawan pada tahun 1973. Nama Wahib kemudian menjadi tenar setelah itu.
Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu dan masih berlanjut hingga kini. Jika ingin tahu bagaimana gagasan liberal pada durasi tahun 60-an, ternyata tidak lah jauh dari masa kini, jika tidak percaya dengarlah kata-kata Wahib berikut ini:
“Aku bukan nasionalis, bukan katolik, bukan sosialis. Aku bukan buddha, bukan protestan, bukan westernis. Aku bukan komunis. Aku bukan humanis. Aku adalah semuanya. Mudah-mudahan inilah yang disebut muslim. Aku ingin orang menilai dan memandangku sebagai suatu kemutlakan (absolute entity) tanpa menghubung-hubungkan dari kelompok mana saya termasuk serta dari aliran apa saya berangkat. Memahami manusia sebagai manusia.” (Catatan Harian 9 Oktober 1969)

Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan essai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.
Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi mahasiswa S1 kala itu.
Menurut Budi Handrianto, dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), selain nama-nama di atas ada tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.
Kembali ke masasalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat.
Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi anak-anak Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Jogjakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.
Pada tahun 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).
Sejak awal, menurut Luthfi Asy Syaukanie, JIL memang diniatkan sebagai payung atau lebih tepatnya penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara
bebas.
Sebagai tempat beraktifitas, lokasi Jalan Utan Kayu no. 68 H, di sekitaran komplek Rawamangun Jakarta Timur menjadi pilihan utama sebagai kantor JIL. Sebidang tanah ini sebenarnya adalah milik jurnalis dan intelektual senior Goenawan Mohammad yang juga memiliki visi sama dengan JIL. Komunitas Utan Kayu sendiri didirikan pada tahun 1996 sebagai bentuk perlawanan, khususnya di bidang informasi, terhadap rezim Orde Baru.
Goenawan Mohammad sempat menceritakan bahwa di Utan Kayu juga berdiri galeri kecil dan teater sederhana, yakni Galeri Lontar dan Jurnal Kebudayaan Kalam – ketiganya bergerak di lapangan kesenian baik untuk acara kesenian maupun pertemuan politik.
Selain daripada kedua hal diatas, Komunitas Utan Kayu juga memiliki kantor berita yang dipimpin oleh Santoso. Radio inilah yang disebut KBR 68H.
(bersambung/pz)

Lain Guru, Lain Murid:
Sejarah JIL Merusak Akidah Islam di Indonesia (2)
Selasa, 05/04/2011 16:12 WIB | email | print

Setelah didirikan pada tanggal 8 maret 2001, praktis JIL mulai disibukkan pada serangkaian agenda-agenda penting mereka untuk membumikan garis Islam liberal yang sudah sempat booming pada era 1970-an.
Situs JIL pun launch bertetepatan pada tanggal yang sama. Menurut Budy Munawar Rachman, JIL bukanlah organisasi formal layaknya Muhammadiyah dan NU. JIL hanyalah organisasi jaringan yang lebih bersifat cair dan lepas.
Dalam situsnya, Islam liberal dalam pandangan JIL adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan: Pertama, membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Kedua mengutamakan semangat religio-etik dan bukan makna literal teks. Ketika mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Keempat memihak pada minoritas yang tertindas. Kelima meyakini kebebasan beragama. Keenam memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi serta keagamaan dan politik (sekularisme).
Para intelektual muda yang terlibat dalam pengelolaan Jaringan Islam Liberal angkatan pertama adalah: Goenawan Mohammad, Ahmad Sahal, Ulil Abshar Abdalla, Luthfie Asy-syaukanie, Hamid Basyaib dan Nong Darol Mahmada. Bisa dikatakan nama-nama ini pas jika dijuluki sebagai founding father JIL secara kelembagaan.
Namun jika dikerucutkan kembali, kemunculan JIL tidak lepas dari tangan Ulil Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Ahmad Sahal (Jurnal Kalam), dan Goenawan Mohamad (ISAI) sebagai trimurti berdirinya JIL yang sempat melontarkan wacana itu ketika duduk-duduk di Jalan Utan Kayu 68 H, Jakarta Timur, Februari 2001.
Lain Guru, Lain Murid
Uniknya, jika kita berkaca pada nama-nama di atas, tak sedikit pengalaman mereka dipenuhi oleh deretan riwayat pendidikan pesantren dan perguruan tinggi Islam yang cukup kuat di Indonesia. Tak jarang pula mereka sempat berguru kepada para Ulama dan dosen yang sangat tulus dan lurus dalam memahami Islam.
Mari kita ulas satu persatu. Ahmad Sahal, misalnya, ia adalah Juara Pertama Pembaca Kitab Kuning dalam ajang Lomba Baca Kitab Kuning di Kampus IAIN Syahid Jakarta tempo dulu.
Sahal juga berasal dari keluarga NU. Pernah mengenyam pendidikan di pesantren Futuhiyyah, Mranggen Demak dan al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri. Atau Ulil Abshar Abdalla, mantan Mahasiwa LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang keluar dari “mainstream”. Ia sempat kuliah di LIPIA pada tahun 1988 sampai 1993 sebelum sempat di drop-out.
Seperti mahasiswa LIPIA pada umumnya, Ulil juga mempelajari kita-kitab Ibnu Taimiyyah yang sangat indah dan bernuansa tauhid sebagai keharusan seorang mahasiswa kala itu. Ulil nyaris saja mendapat gelar sarjana di Fakultas Syari'ah, namun sayang berkah LIPIA urung dia dapatkan hingga kemudian dikeluarkan oleh pihak kampus tanpa sempat menyabet gelar sarjana.
Sebagai santri, Ulil muda juga adalah seorang pelajar di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (wakil Rois Am PBNU periode 1994 1999 dan Rois Am PBNU 2004-2010). Tak hanya itu, Ulil juga pernah “mondok” di Pesantren Mansajul 'Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Berbeda dengan Ulil yang membela Ahmadiyah, KH Sahal Mahfudz justru terkenal keras menentang Ahmadiyah. Romo Kyai -begitu para santri memanggilnya termasuk Ulil- meminta agar Ahmadiyah keluar dari Islam. Beliau terkenal garang dalam mengkritik kalangan muda NU yang memakai jurus “Atas nama HAM” untuk membela kehadiran Ahmadiyah.
KH. Sahal dengan tegas menyatakan bahwa Ahmadiyah mempunyai akidah yang berbeda. KH. Sahal Mahfudz pun telah berkali-kali menyatakan Ahmadiyah sesat dan meminta pemerintah untuk membubarkan dalam kapasitasnya sebagai petinggi Majelis Ulama Indonesia.
Kisah lain guru, lain murid selanjutnya berlanjut jika kita menyebut nama Nong Darol Mahmada. Perempuan muda yang “istiqomah” melepas jilbabnya setelah mangkat dari IAIN Syarif Hdiayatullah Jakarta ini pernah menulis tentang pengalamannya menjadi seorang yang taat beribadah sebelum singgah mengadopsi pemikiran liberal.
“Aku lahir dari keluarga santri. sejak kecil belajar mengaji. Lulus SD, terus nyantri di pesantren Cipasung Tasikmalaya dari SMP-SMA. Padahal orang tuaku punya pesantren dan sekolah.”
Bahkan mantan kader Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) kala kuliah itu terang-terangan mengakui bahwa dirinya berada dalam derajat liberal yang kaffah. Simaklah ucapannya berikut ini:
“Di Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang menyatukan kita adalah kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide, satu perjuangan.”
Padahal jika kita tarik ke belakang, nama Pondok Pesantren Cipasung bukanlah institusi pendidikan Islam yang bisa dipandang sebelah mata. Pesantren terkemuka di Indonesia ini diasuh oleh sorang ulama kharismatik yang terekam dalam sejarah siap mengadai nyawa demi tegaknya Islam di bumi nusantara.
Pondok pesantren Cipasung Tasikmalaya didirikan pada tahun 1930 oleh almarhum KH. Ruhiat dengan semangat syiar Islam yang besar. Almarhum adalah tokoh yang sangat terkemuka pada zamannya. Beliau demikian teguh memegang prinsip Syariat Islam dan gigih mewarisi pendidikan Pesantren sekali pun halangan dan rintangan menghadang terutama dari pihak Kolonial yang menyebabkan Alm. KH. Ruhiat harus keluar masuk penjara.
Walaupun hidup dalam keadaan mencekam, beliau dengan penuh kesabaran dan ketawakalan kepada Allahuta’ala, tidak henti-hentinya membina pesantren ini dengan ikhlas, memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para santri tanpa mengenal lelah siang dan malam. Semuanya itu demi cita-cita mulia yakni mendidik generasi muslim menjadi insan soleh dan takwa di jalan agama.
Bahkan Belanda pernah berusaha membunuh KH. Ruhiat dengan melepaskan serentetan tembakan ke arahnya, namun berkat pertolongan Allah SWT, usaha ini gagal. Kendati demikian, bukan berarti tidak ada korban dalam aksi penyerangan itu. KH. Ruhiat boleh selamat, namun muntahan peluru tersebut justru mengenai tiga orang santri yang setia bersama almarhum kala itu.
Abdur Rozak yang berasal dari Tawang Banteng dan Ma’mun yang berasal dari Rancapaku keduanya gugur sebagai syuhada. Sedangkan santri lainya bernama Aen, mendapat luka lebar di bagian kepala.
Setelah dahsyatnya ancaman, teror, dan kekejaman datang silih berganti, KH. Ruhiat pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara Tasikmalaya. Selama kurang lebih sembilan bulan beliau hidup dalam pengasingan dibalik jeruji besi, hingga pada tanggal 27 Desember 1949 beliau baru kemudian dibebaskan.
Namun sekalipun beraneka cobaan dan cerita pahit senantiasa menghampiri, almarhum KH. Ruhiat tergolong Ulama yang sabar dan ikhlas berjuang menyisipkan iman kepada Allah SWT dalam hatinya. Beliau berprinsip sekalipun hidup dalam kondisi sulit, kegiatan mencetak generasi-generasi soleh di pesantren tidak boleh hanyut tergerus waktu apalagi karam diterpa gelombang.
ntah apa jadinya jika KH Ruhiat masih hidup. Perjuangannya yang mesti dibayar dengan darah dan nyawa untuk mempertahankan pesantren bisa jadi sekarang sedang dikhianati oleh santrinya sendiri.
Dalam situs JIL, Nong Darol Mahmada pernah mengritik pemberlakuan hukum wajib berjilbab dalam Islam. Dengan mempersoalkan dalil sahih pemakaian jilbab, ia memulai tulisannya dengan pertanyaan “Benarkah jilbab itu adalah syariat Islam?”
Lantas dengan menelaah buku “Kritik Atas Jilbab” karya Muhammad Said Al-Asymawi yang diterbitkan oleh JIL bulan April 2003, Nong Darol mendelegasikan pernyataan yang justru tidak akan bisa diterima oleh umat Islam. Ia menulis,
“Sebenarnya konsep hijab bukanlah milik Islam. Dalam kitab Taurat, Injil, bahkan sebelum munculnya agama-agama Samawi, (seperti zaman Asyria), tradisi penggunaan jilbab sudah dikenal. Pelembagaan hijab dalam Islam didasarkan pada ayat 24 Surat An-Nur."
Menurut Nong, kalimat dalam ayat itu “hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” adalah merupakan reaksi dari tradisi pakaian perempuan Arab jahiliah karena menurut tafsir Ibnu Katsir, perempuan zaman jahiliah biasa memperlihatkan lehernya. Artinya, ayat jilbab di atas bersifat kondisional.”
Lalu dengan mengutip Abu Syuqqah, Nong menulis bahwa kalimat “yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal…” dalam ayat 33:59, menunjukkan bahwa maksud, penggunaan jilbab adalah untuk membedakan perempuan merdeka dan perempuan budak, bukan pada substansi ajaran Islam. Bahkan lebih jauh lagi, Nong mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ketidakjelasan Islam dalam melihat posisi budak.
“Inilah yang dipahami bersifat elitis dan diskriminatif. Karena dengan ayat ini, ingin membedakan status perempuan Islam yang merdeka dan budak. Di sini dapat dilihat ambiguitas Islam dalam melihat posisi budak. Satu sisi ingin menghancurkan perbudakan, di sisi lain, masih mempertahankannya dalam strata masyarakat Islam misalnya dalam perbedaan berpakaian di atas.” tulis nong.
Kisah "penghianatan" murid kepada guru juga terjadi pada pendiri JIL lainnya yakni Luthfie Asy-Syaukani. Luthfie yang pernah melukai hati umat ketika menyamakan kasus Lia Eden dengan apa yang dialami Nabi Muhammad SAW, tidak lain adalah mahasiswa Prof Naquib Al Attas saat di ISTAC-IIUM Malaysia dalam jenjang Magister.
Berbeda dengan sang murid, Prof Al Attas adalah akademisi yang sangat concern melawan liberalisne, sekularisme, dan pluralisme Agama. Dari kegigihan Prof Al Attas lah lahir nama-nama cendekiawan muslim Indonesia yang kini silih berganti menangkal bahaya penyesatan Jaringan Islam Liberal. Sebutlah seperti DR. Adian Husaini, DR. Syamsuddin Arif hingga DR. Hamid Fahmy Zarkasy.
Dalam menepis bahaya Sekuarisme dimana ada pemisahan antara agama dan politik, serta relasi Islam dan Ilmu, Al Attas sampai membuat satu buku berjudul “Islam and Secularism”.
Al Attas jua lah yang menekankan tiap mahasiswanya untuk tidak minder terhadap Barat. Al-Attas kemudian menuding bahwa konsep ilmu sekular Barat adalah sumber kerusakan terbesar bagi umat manusia saat ini.
Karena itu, saat menjadi Keynote Speaker pada Konferensi Pendidikan Islam di Mekkah, 1977, Al-Attas menggulirkan makalah berjudul ”The Dewesternization of Knowledge.” Dan langkah awal diajukannya untuk membangun peradaban Islam adalah “Islamisasi Ilmu.”
Sekali lagi: Lain guru, lain murid. Sebaliknya, Luthfie amat kagum kepada Barat. Ia pernah mengecam umat muslim yang alergi terhadap sekularisme. Dalam tulisannya, Berkah Sekularisme, yang dimuat pada koran Jawa Pos tahun 2005, Luthfie menyatakan bahwa Sekularisme adalah berkah bagi agama-agama.
“Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.” Tulis Luthfie.
Bahkan saat ditanya, perspektifbaru.com terkait apakah soal agama perlu atau tidak diurusi oleh negara, Luthfie menjawab enteng, “Saya kira tidak perlu..Urusan-urusan yang terkait dengan pemahaman keagamaan biarkan masyarakat yang mengurusi itu.“
Sungguh, andaikan para murid tersebut yakin atas cahaya Islam, mereka bisa jadi tidak sedang berada dalam gerbong-gerbong sejarah kelam seorang murid yang mengkhianati gurunya. Semoga tidak lahir murid-murid seperti ini di waktu-waktu yang mendatang. (bersambung/pz)

Fitnah Terhadap Ulama Indonesia:
Sejarah JIL Merusak Akidah Islam di Indonesia (3)
Selasa, 12/04/2011 16:29 WIB | email | print

Kiprah JIL semakin terasa ketika mereka dalam tulisan atau seminar-seminarnya mulai gegap gempita. Tercatat mereka cukup sering memakai teater Utan Kayu sebagai tempat diskusi. Ketika kasus Ahmadiyah mencuat misalnya, di situs JIL terpampang diskusi Ahmadiyah yang melibatkan Zafrulloh Ahmad Pontoh (Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia) dan Abdul Moqsith Ghazali dari UIN Jakarta. Pada hari Kamis, 24 Februari 2011, Pukul 19.00-21.30.
Mereka juga pernah mengadakan Diskusi Buku The Grand Design karya Stephen Hawking & Leonard Mlodinow dengan judul diskusi: Tuhan Bukan Pencipta Alam Semesta? Ya sederetan diskusi itulah yang hingga kini terus diwarisi, bahkan tak jarang diskusi-diskusi di JIL menjadi ajang fitnah terhadap para Ulama Indonesia. Mereka membonceng nama besar Ulama Indonesia untuk menepis tuduhan bahwa ide liberalisme adalah barang baru dan tidak disetujui para ulama.
Fitnah Ulil Terhadap KH. Agus Salim
Dalam sebuah diskusi bertemakan “Masa Depan Pemikiran Islam” di Utan Kayu pada tanggal 5 Maret 2005, Ulil membuat statement yang mengejutkan. Ia mengatakan bahwa Pemikiran Islam Liberal di Indonesia sudah memiliki akar yang cukup panjang pada Islam intelektual didikan Barat tahun 1930-an seperti KH. Agus Salim.
KH. Agus Salim, lanjut Ulil, sekalipun tidak pernah kuliah di Barat. Dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Rupanya, inilah yang menurut Ulil bahwa amat beralasan jika kemudian nama KH. Agus Salim dimasukkan sebagai tokoh Muslim yang merintis pemikiran liberal di Indonesia.[1]
Namun sayang kala itu tidak ada audiens yang merespon pernyataan Ulil. Sebab jika kita berkaca kepada bukti sejarah, tuduhan Ulil kepada KH. Agus Salim tentu saja tidak berdasar. KH. Agus Salim pernah menyatakan sendiri bahwa ia merasakan jauh dari Islam justru ketika ia dididik oleh Barat lewat pendidikan sekuler. Seperti dikutip Yudi Latif dalam bukunya Inteligensia Muslim dan Kuasa, KH Agus Salim berujar,
“Meskipun saya lahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak (setelah masuk sekolah belanda) saya mulai kehilangan Iman.” [2]
Pengakuan jujur KH. Agus Salim inilah yang dengan serta merta meruntuhkan klaim Ulil akan keliberalan tokoh muslim asli Minang tersebut. Bahkan dalam dokumen dari Panitia Buku Peringatan 100 Tahun KH Agus Salim, tokoh kharismatik dari Syarikat Islam tersebut berterus terang bahwa model penidikan HBS (Sekolah menegah Belanda) telah menjauhkannya dari Islam.
Berbeda dengan Ulil yang takluk akan Barat dan sangat bangga akan peradaban Barat, KH. Agus Salim sekalipun membaca buku-buku Barat, ia sama sekali tidak terpukau dengan peradaban luar. Kemampuan Agus Salim akan penguasaan banyak bahasa pun tidak membuatnya memandang Peradaban Barat lebih hebat dari Islam.[3]
Sikap itu dapat tercermin saat KH. Agus Salim masih muda. Pada tahun 1903, setelah KH. Agus Salim menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, Kartini berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran.
Kartini berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima.
Sikap ini sebenarnya lahir dari keberanian KH. Agus Salim yang sudah terasah sejak kecil. Beliau memang dididik untuk berani menentang kebijakan-kebijakan colonial yang merugikan umat. Jadi, kita bisa bandingkan dengan JIL, yang justru meminta kucuran dana dari Barat demi menopang roda organisasinya.
Betul memang KH Agus Salim kemudian pernah bekerja untuk Belanda di Mekkah. Tapi awal ketika tawaran itu datang dari Snouck Hugronje, KH Agus Salim sudah memberi syarat bahwa kepergiannya ke Jeddah menjadi pegawai Belanda bukan dalam kapasitas untuk membantu misi kolonialisme, namun sesuai yang dijanjikan, yakni sebagai staff penerjemah.
Dan apa yang terjadi setelah itu? Ketika sampai di Jeddah dan aktif sebagai pegawai, ternyata KH. Agus Salim banyak mengalami pertentangan pemikiran dengan fihak Belanda. Hal inilah yang kemudian menjadikan KH Agus Salim mendekat kepada kelompok Islam di Jeddah. Disana ia juga bertemu sang paman, Achmad Khotib, seorang Ulama besar Hindia terakhir di Haramain. Pertemuan inilah yang dilukiskan KH. Agus Salim sebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya.[4]

Fitnah Syafi’i Ma’arif Terhadap Buya Hamka
Lain lagi fitnah yang menimpa Buya Hamka. Salah satu dedengkot JIL, Prof Syafi’i Ma’arif dalam tulisannya di Rubrik Resonansi, Republika hal.12, tanggal 21 Nopember 2006 mencoba menafsirkan Qs.Al-Baqarah ayat 62 dengan semangat pluralisme agama yakni dengan menyatakan bahwa kaum Nasrani, Yahudi dan Sabi’in akan menjadi penghuni surga sepanjang ia rajin beramal.
Menariknya, Syafi’i Ma’arif dalam artikel itu merujuk ke Tafsir Al-Azhar karya Prof. DR. Hamka sebagai legitimasi bahwa seorang Buya Hamka merestui pemikiran pluralisme. Lihatlah tulisan Ma’arif ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 69 dengan rujukan Tafsir Al Azhar Buya Hamka berikut ini.
“Ikuti penafsiran Hamka berikut: Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau mereka apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu. 'Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.
"Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85 surat surat Ali 'Imran yang artinya: 'Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.' (Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut:
"Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih." [5]
Sontak, tulisan Ma’arif tersebut memunculkan berbagai macam polemik dan respon. Selain dicap mendompleng nama Buya Hamka, Syafi’i Ma’arif juga dinilai ngawur dalam menjelaskan konteks surat Al Baqarah ayat 62 dan 69.
Salah satu cendekiawan yang merespon kekeliruan Syafi’i Ma’arif tersebut salah satunya adalah DR. Adian Husaini. Ketua DDII ini langsung menulis balik di Republika pada kolom sama tertanggal 1 Desember tahun 2006 dengan judul “Hamka dan Pluralisme Agama”. Dengan rujukan yang sama, DR. Adian kemudian meluruskan kesalahan (yang tampaknya disengaja) Ma’arif ketika membelokkan perkataan Buya Hamka. DR. Adian Husaini menulis,
“Pendapat Hamka tentang keselamatan kaum non-Muslim dalam pandangan Islam sebenarnya juga tidak berbeda dengan para mufassir terkemuka yang lain. Termasuk ketika menafsirkan QS 2:62 dan 5:69. Karena itu, Hamka memandang, ayat itu tidak bertentangan dengan QS 3:85 yang menyatakan: 'Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah tidaklah akan diterima daripadanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.' Jadi, QS 3:85 tidak menasakh QS 2:62 dan 5:69 karena memang maknanya sejalan.
"Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 – sebagaimana juga dikutip Syafii Maarif – bahwa "Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmanNya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.
"Jadi, Hamka tetap menekankan siapa pun, pemeluk agama apa pun, akan bisa mendapatkan pahala dan keselamatan, dengan syarat dia beriman kepada segala firman Allah, termasuk Al-Quran, dan beriman kepada semua nabi dan rasul-Nya, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika seseorang beriman kepada Al-Quran dan Nabi Muhammad saw, maka itu sama artinya dia telah memeluk agama Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Hamka, siapa pun yang tidak beriman kepada Allah, Al-Quran, dan Nabi Muhammad saw, meskipun dia mengaku secara formal beragama Islam, tetap tidak akan mendapatkan keselamatan. Itulah makna QS 3:85 yang sejalan dengan makna QS 2:62 dan 5:69.” [6]
Selain itu, jika kita merujuk kepada karangan Buya Hamka yang berjudul “Pelajaran Agama Islam” (Bulan Bintang: 1996, cet ke-12), jangankan mengakui kekafiran kaum Nasrani, sedangkan menurut Buya Hamka orang Islam sendiri yang tidak mengikuti perintah Al Qur’an dan Sunnah sudah tidak pantas lagi disebut muslim. Buya Hamka menulis di halaman 360.
“Mengakui saja kepada Tuhan, padahal tidak mengikuti perintah atau tidak menjalankan isi Qur’an atau tidak menuruti sunnah Nabi, kalau kita fikirkan mendalam, bukanlah Iman lagi, halusnya bukanlah Islam” [7]
Andai Syafi’i Ma’arif tidak menutupi kepalsuannya, seharusnya sebagai pembesar. Muhammadiyah beliau tahu bagaimana riwayat Buya Hamka turun dari tahta MUI ketika menolak perayaan natal bersama. Kala itu MUI mengeluarkan fatwa haram pengucapan selamat natal, namun MUI didesak untuk mencabut kembali fatwa tersebut.
Akan tetapi, demi menjaga akidah umat, Buya Hamka dengan tegas menolak permintaan penarikan fatwa tersebut. Buya Hamka lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua MUI ketimbang harus bermandikan dosa mengorbankan akidah. Dan kita ketahui sejak MUI dipimpin Buya Hamka itulah ucapan selamat natal diharamkan oleh MUI. (Bersambung/pz)
Catatan Kaki
[1] Budhy Munawar Rachman, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. (Jakarta: Grasindo, 2010) h. 34
[2] Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20 (Jakarta: Mizan, 2005) h. 103
[3] Ibid. h. 103
[4] Ibid. h.105
[5] Ahmad Syafii Maarif (2006), Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah, surat kabar Republika, edisi Selasa, 21 Nopember 2006.
[6] Adian Husaini (2006), Hamka dan Pluralisme Agama, surat kabar Republika, edisi Jum’at, 1 Desember 2006.
[7] Buya Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Bulan Bintang: Jakarta, 1996) Cet ke 12. h. 360



1 komentar:

elfan mengatakan...

MISI ISLAM MUTLAK PERTAMA SOAL TUHAN

Versi Al Quran dan nampaknya satu-satunya surat dan ayatnya:

Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, yaitu: "Peringatkanlah (andziruu) olehmu sekalian, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku (Allah), maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku" (QS. 16:2)

Versi Buya Syafii Ma’arif

“Ingat, Nabi itu dimusuhi kafir Quraisy bukan karena Nabi mengajarkan untuk menyembah Tuhan, tapi karena Nabi mengajarkan untuk bangkit melawan sistem yang menindas rakyat kecil. Nabi dilawan karena menegakkan keadilan.”

http://ahlulbaitindonesia.org/berita/8288/islam-indonesia-sejuk-dan-anti-penindasan/

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------