Jakarta (voa-islam) - Toleransi ala Hanung seperti jalan yang menghantarkan umat ini pada sebuah pendangkalan aqidah dan jembatan menuju Neraka. Aroma pluralisme dalam film ”?” terasa begitu menyengat. Stereotype umat Islam yang buruk, dilukiskan Hanung dengan cara pandang yang lebay, tendensius, dan fatal.  

Setelah Film “Perempuan Berkalung Surban” menuai kontroversi, Sutradara Hanung Bramantyo kembali menggarap film terbarunya yang hanya diberi tanda “?” (tanda tanya). Difilm ke-14 nya tersebut, Hanung menggaet beberapa bintang film muda, seperti Reza Rahardian, Revalina S Temat, Agus Kuncoro, Endhita, Rio Dewanto, Hengky Sulaeman, David Chalik, dan Glenn Fredly.

Film ”?” merupakan hasil produksi kerjasama antara Mahaka Picture dan Dapur Film ini, dimana Erick Thohir sebagai Produser Eksekutifnya, Titien Wattimena (penulis naskah), Tya Subiakto (penata musik),  dan Yadi Sugandi (penata fotografi). Untuk lokasi syuting dipilih di kota Semarang, Jawa Tengah.   
“Saya pilih tempat di Semarang, karena di sana ada lima agama, tapi tidak pernah terjadi penusukan terhadap umat beragama yang berbeda. Ini sebuah film yang menceritakan kegelisahan saya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Saya ingin berstatmen dalam bentuk film,” tukas Hanung.

Saat menyaksikan launcing pemutaran film berdurasi 100 menit ini di bioskop Jakarta Teater, voa islam mencatat, ada beberapa adegan yang sangat menyengat dan melukai hati umat Islam. Aroma pluralisme sudah bisa dirakan saat melihat poster film itu dengan kata: “masih pentingkah kita berbeda?”. Bahkan Hanung akan memberi doorprize senilai Rp. 100 juta kepada penonton yang memberikan judul untuk film “?” ini.
Melukai Umat Islam

Di awal-awal film itu, penonton sudah disengat dengan hal yang sensitif, seperti  adegan penusukan terhadap seorang pendeta bernama Albertus. Tidak jelas apa motif penusukan yang dilakukan oleh seseorang yang berpenampilan preman tersebut. Meski tidak menunjuk hidung secara langsung, namun ada kesan Hanung hendak menggiring sterotype buruk, seolah yang suka melakukan tindakan anakis datang dari kelompok agama tertentu.

Adegan selanjutnya, tanpa alasan yang jelas pula, sekelompok pemuda Islam bersarung dan berpeci tiba-tiba mencerca seorang keturunan Cina dengan panggilan ”Cino” (menyebut Cina dengan logat Jawa). Dalam film ini, Hanung banyak menggunakan simbolik-simbolik sensasi murahan yang didramatisir, yang berpangkal dari sebuah kemarahan terpendam.

Dengan dalih toleransi, Hanung juga menciptakan adegan seorang Muslimah berkerudung yang merasa nyaman bekerja di sebuah rumah makan (restoran) yang menyajikan daging babi yang diharamkan oleh Islam. Toleransi ala Hanung ingin mengesankan, bahwa muslimah yang diperankan oleh Revalina  S Temat adalah muslimah yang ideal, yang bisa menghargai sebuah perbedaan. Meski tidak sampai memakannya, tidak terlihat kegalauan hati dari seorang Muslimah, seolah daging babi bukan sesuatu yang diharamkan.

Di sela adegan itu, ada seorang Muslimah yang menolak bekerja di sebuah restoran yang sama, dengan alasan prinsip agama yang dipegang. Namun, cara pandang Hanung yang keliru, ingin menunjukkan bahwa Muslimah yang menolak bekerja di restoran Cina karena menyajikan daging babi itu sabagai muslimah yang tidak toleran.

Sang Murtadin
Adegan yang menyesatkan lainnya adalah ketika seorang wanita (diperankan Endhita) yang sebelumnya beragama Islam kemudian berpindah agama alias murtad menjadi seorang pemeluk Nasrani yang taat. Ada sebuah ungkapa yang terlontar dari bibir sang murtadin tadi, bahwa dirinya pindah agama tidak berarti mengkhinati Tuhan.  Pesan yang disampaikan dalam film ini adalah manusia berhak menjadi murtad, dan itu adalah hak asasi yang patut dihargai.
Adegan yang lebih menyengat lagi adalah ketika seorang pemuda Muslim (diperankan Agus Kuncoro) bersedia diajak bermain drama di sebuah gereja pada perayaan Paskah, dengan memerankan sebagai Yesus Kristus. Mulanya hatinya galau, tapi setelah berkonsultasi pada seorang ustadz muda (diperankan oleh David Khalik), ditemukan jawaban yang amat sesat menyesatkan.

Katanya, bahwa untuk menjaga keimanan bukan terletak pada fisik, melainkan hati. Maka masuk gereja, bahkan memerankan aktor sebagai Yesus sekalipun bukan sesuatu yang subhat dan diharamkan. Bagi Hanung, hal itu tak perlu dipersoalkan.
Serasa kontras, usai memerankan Yesus, pemuda muslim yang sehari-hari tinggal di masjid itu pun melafadzkan QS. Al Ikhlas. Hanung ingin menggambarkan, memerankan Yesus bukan ancaman yang bisa mendangkalkan akidah keislaman seseorang. Justru ia semakin shaleh. Inilah kampanye pluralisme yang diusung Hanung.
Kok bisa, QS Al Ikhlas yang menegaskan bahwa Dia (Allah Swt) Tuhan yang Maha Esa.
Tuhan tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tapi oleh Hanung, Al Ikhlas ditafsirkan secara serampangan dengan kacamata pluralis, yang  membenarkan Yesus sebagai anak Tuhan. Setidaknya Hanung memnghantarkan seorang Muslim menjadi hipokrit bahkan musyrik.

Adegan yang terasa lebay juga dilukiskan Hanung, pada saat restoran Cina mengalami kerugian saat memasuki bulan Ramadhan dimana umat Islam sedang berpuasa. Ada kesan, bahwa pelanggan restoran yang suka makan daging babi itu adalah dari umat Islam. Sehingga ketika umat islam sedang menjalankan ibadah puasa, maka restoran pun menjadi sepi. Bahkan pada saat lebaran, pemilik restoran Cina itu lagi-lagi melarang karyawannya untuk libur atau pulang kampung, dengan alasan restoran merugi, karena terlalu lama libur.
Konyolnya, diciptakan insiden penyerangan terhadap restoran Cina itu oleh sekelompok umat Islam dengan membawa kayu dan terjadi tindakan anarkis yang disertai pemukulan. Hanung lagi-lagi membuat stereotype buruk atas umat Islam yang suka dengan anarkis. Bisa dibayangkan, apa mungkin di hari lebaran umat Islam melakukan penyerangan dan perusakan. Hanung yang mengaku Muslim nampak lebay dan tidak waras, dimana umat Islam digambarkan sebagai makhluk yang bengis dan biadab.

Adegan Banser yang menjaga gereja pun digambarkan sebagai hero. Oleh Hanung, Banser NU adalah sebuah pekerjaan yang disediakan untuk para pengangguran, seperti Soleh (diperankan oleh Reza Rahadian). Dari banyak adegan dalam film tersebut, nampak alur cerita yang tidak sistematis, tergesa-gesa, vulgar, sarkasme, sekedar simbolik untuk mendramatisir kisah yang penuh amarah, dan jauh dari kualitas. Film Hanung tak ubahnya ”sampah” yang melukai hati umat Islam.

Hanung sepertinya pura-pura bodoh, ketika ditanya apa itu pluralisme. Bahkan ia mengelak film garapannya itu punya motif untuk mengkampanyekan pluralisme. “Saya tidak mengerti apa itu pluralisme. Nanti, kalau saya bilang, film itu pluralisme, nanti golongan pluralis akan berusaha memanfaatkan. Begitu juga kalau saya bilang ini liberal, nanti mereka akan mengklaimnya juga.”

Jadi istilah pluralisme buat Hanung tidak lagi sesederhana istilahnya saja karena di dalamnya sudah ada muatan politis, pergerakan dan keyakinan. Saya berusaha melepas diri dari itu semua. Saya adalah peribadi yang hanya berusaha memotret semua persoalan yang berkelindan di dalam diri saya.
Ketika ditanya, bagaimana anda memahami pluralisme? Hanung mengaku tidak tahu pluralisme itu apa, karena ia sangat hati-hati dengan istilah pluralisme. “Makanya saya kasih judul film itu hanya tanda tanya,” ujarnya berdalih.
Bila Hanung mempersilahkan penonton memberi judul film “?” ini, maka pantas, jika film ini diberi judul “Sang Murtadin”. Setuju??? Desastian


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------