Pernikahan dan Talak merupakan paket pokok bahasan dalam Fiqh Munakahat. Walau tentu hampir semua orang tidak menginginkan pernikahannya itu berakhir dengan talak. Namanya juga manusia, bukan malaikat, pastilah perjalanan pernikahan selalu saja diwarnai dengan “bunga-bunga kehidupan berumah tangga”, kadang bertengkar kecil-kecilan sesekali, kadang memuncak dan sering terjadi, dan bahkan terkadang harus mengalami peristiwa pahit dalam berkeluarga, yaitu masa perceraian. Ya, ada yang cerai raj`ii (yang masih punya kesempatan kembali, ruju’) dan ada yang harus berakhir dengan talak ba’in (talak tiga) yang apabila ingin kembali harus diselingi dulu oleh perkawinan (mantan isterinya) dengan laki-laki lain, kemudian bubar juga di tengah jalan.
Disini tidak akan dibahas hak-hak isteri yang dicerai, juga kewajiban apa saja bagi suami (yang menceraikannya) kepada isterinya, baik jika dalam talak raj`ii ataupun talak ba’in.
Yang menjadi persoalan adalah, apabila sebuah keluarga, suami-isteri harus mengalami talak raj`ii itu apakah harus disertai adanya saksi dan (jika kembali) apa juga harus ada saksi ?. Bagaimanapun kondisi rumah tangga muslim, sedapat mungkin jangan sampai mengalami perceraian, demi kepentingan anak-anak dan mereka berdua, Sebab talak itu sekalipun halal, dalam Islam merupakan jalan terakhir, apabila semua cara telah ditempuh unutk mempertahankan bahtera kehidupan rumah tangga. Jika ternyata semua cara itu tetap saja kandas dan buntu, dan bahkan perceraian menjadi solusi terbaik, untuk kebaikan suami dan isteri maupun anak-anak ke depannya ketika itu terjadi. Maka apa boleh buat, langkah yang sulit dan getir itu pun harus diambil. Islam memberikan aturan yang indah dalam kasus ini dengan mensyariatkan talak (perceraian), rujuk (damai kembali bersatu), dan masa iddah menjadi tiga: dua dengan rujuk, yaitu talak satu dan dua serta satu tanpa rujuk, yaitu talak tiga atau talak ba’in, sebagaimana firman Allah,
Para ulama sepakat bahwa keberadaan saksi tidak disyariatkannya dalam perceraian, sebagaimana dijelaskan Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nail Al-Authar, 6:267. Namun, tetap namanya Fiqh, pastilah terjadi khilaf di antara para ulama, terutama tentang keberadaan saksi dalam rujuk. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah yang berpendapat bahwa saksi tidak wajib ada, namun bila ada saksi maka itu yang lebih baik.
Para ulama, yang tidak mewajibkan saksi dalam rujuk, berselisih pendapat dalam cara rujuk yang diakui syariat. Ada yang menyatakan bahwa cukup dengan berhubungan suami-istri, ada yang menyatakan bahwa harus dengan niat rujuk, dan ada yang menyatakan bahwa harus dengan ucapan. Pendapat yang rajih adalah bahwa rujuk dikatakan sah dengan adanya perbuatan atau perkataan yang menunjukan rujuknya pasangan suami-isteri tersebut, baik dengan hubungan suami-istri atau perkataan.
Dalam masyarakat sering terjadi persoalan sederhana malah dipersulit dalam proses dan harus berbelit-belit, sehingga yang seharusnya orang sudah berniat untuk ruju’ (kembali) menjadi urung (batal).
Islam mensyariatkan iddah (masa menunggu) agar sang suami dapat mempertimbangkan matang-matang efekm dari perceraian tersebut, negative-positifnya, dan lalu berpikir untuk kembali (ruju’), setelah hilang rasa marah dan tidak sukanya lalu muncul perasaan ingin memperbaiki bahteranya. Oleh karena itu, yang baik bagi sang suami tidak mengusir istrinya (yang dicerai) dari rumah, dan jika yang dicerai dengan talak satu atau dua tersebut juga tidak boleh pergi untuk tinggal di luar rumahnya. Hal ini jelas ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
Sikap isteri yang baik adalah, manakala Allah membuka hati dan timbul keinginan bagi suami untuk ruju`dalam masa iddah tersebut maka sang istri wajib menerimanya walaupun ia tidak suka. Namun, bila tidak ada rujuk sampai habis masa iddah-nya maka sang wanita menjadi bebas dan tidak ada keterikatan dengan suaminya terdahulu itu.
Sehinga apabila keduanya sepakat untuk kembali bersatu setelah itu (tak memanfaatkan waktu iddahnya, sampai habis) dan jika ingin kembali bersatu, maka pernikahan yang baru wajib dilakukan . Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Para ulama telah bersepakat bahwa bila lelaki yang merdeka mencerai wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa iddahnya maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali melalui pernikahan baru.”
Wallahu a`lam bish shawab.

2 komentar:
Apakah talak dan rujuk butuh saksi saksi..? apakah kedudukan hukumnya saksi saksi dalam dua perkara ini tolong penjelasan dengan referensinya..!! saya ingin faham hal ini karena permaslahan cerai dan rujuk sering terjadi d masyarakat yang menimbulkan banyak pendapat dan tata cara dalam kedua hal di atas, memuat saya bingung dan brprasangka hanya pendapat sendiri tanpa
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------