Sorotan Dua Syaikh Ahli Hadits dari Yordan di
IAIN Surabaya dan UIN Malang
(Hartono Ahmad Jaiz)

Beberapa Pemahaman Perlu Diluruskan

Empat orang Syaikh ahli Hadits, murid Syaikh Al-Albani ahli hadist terkemuka tingkat dunia, berkunjung ke Indonesia untuk menjadi tutor dalam dauroh (penataran) tentang ilmu aqidah dan hadits. Penataran itu diselenggarakan oleh Al-Irsyad, berlangsung di Lawang Malang Jawa Timur, 6-10 Desember 2004, dihadiri 135 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Di samping itu, para Syaikh itu sempat bertabligh Akbar di Masjid Istiqlal Jakarta, 5 Desember 2004, dan menyampaikan ceramah di IAIN Sunan Ampel Surabaya, serta di UIN (Universitas Islam Negeri) Malang Jawa Timur. 


Berikut ini kami ringkaskan ceramah dua Syaikh yang berceramah di IAIN Surabaya dan UIN Malang yang diterjemahkan saat itu oleh Ustadz Agus Hasan Bashori da’I Al-Sofwa Jakarta yang bermukim di Malang.

Ringkasan Ceramah Syaikh Ali Hasan Al-Halabi
Prolog Penerjemah
Pagi itu pukul 10.00 WIB, Saya (Agus Hasan Bashori), saudara Husnul Yaqin dan Ustadz Salim Ghanim (Al-Irsyad Surabaya) meluncur dari Wisma Erni Lawang, Malang Jawa Timur, mengawal Syaikh Ali ibn al-Hasan al-Halabi menuju IAIN Sunan Ampel Surabaya pada pekan pertama Desember 2004. 

Tidak terasa waktupun menunjukkan pukul 11.40 WIB dan kamipun sampai di halaman Masjid Kampus IAIN Surabaya. Ternyata shalat jama’ah telah selesai. Acara langsung dimulai. Salah seorang dosen IAIN berdiri memberikan sambutan singkat dalam Bahasa Indonesia yang isinya menyambut kedatangan Syaikh, berterima kasih kepada Allah atas kedatangan seorang ulama ahli hadits dari Yordania dan mengharapkan kepada hadirin untuk menyima’ ceramah ilmiah yang akan disampaikan Fadhilah al-Syaikh. Saya yang duduk di sebelah kanan Syaikh yang bertindak selaku penerjemah mengawali Tabligh itu dengan memperkenalkan Syaikh kepada hadirin yang berjumlah sekitar seratusan orang. Saya katakan bahwa tamu kita ini adalah Syaikh Ali ibn Al-Hasan al-Halabi. Beliau adalah salah satu murid senior Syaikh Nashiruddin al-Albani ahli hadits terkemuka di dunia Islam yang meninggal 3 tahun yang lalu. Beliau menyertai Syaikh al-Albani selama 25 tahun dan kini telah menulis lebih dari 150 kitab baik Ta’lif, Ta’liq, Tahqiq maupun Syarah. Lalu saya sebutkan beberapa nama kitab beliau. Dan selanjutnya saya persilahkan beliau berkhutbah.


Batilnya Perkataan “Islam bukan Nama Agama”

(Ringkasan Pidato Syaikh Ali)

Pembahasan kita akan kita tekankan pada masalah-masalah ilmiah yang amat mendasar.
Pertama: Tentang hakikat agama Islam. Agama yang dengan bangga kita menisbatkan diri kepadanya, berdakwah kepadanya dan berkumpul karenanya. Dialah agama Islam yang difirmankan oleh Allah:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)

Ayat ini merupakan Dustur (undang-undang dasar) bagi setiap muslim dan merupakan syariatnya yang paling agung. Islam adalah agama Allah, agama yang haq dan agama yang diterima dan  bersabda: “Tidak ada Nabi lagi
ragama penutup. Karena Rasul Allah  sesudahku”.

Islam memiliki dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Pengertian khusus adalah apabila Islam digunakan secara mutlak atau lepas maka maksudnya adalah agama Nabi MuhammadSAW. Sedangkan makna umumnya adalah agama semua Nabi yang mengajarkan Tauhid, tunduk patuh hanya kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah:
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (al-An’aam: 162-163)

Pasrah menyerahkan diri kepada Allah melalui ajaran masing-masing Nabi adalah makna Islam secara umum. Sedangkan makna Islam secara khusus yang karenanya al-Qur’an diturunkan adalah tunduk patuh kepada Allah dan taat kepada Muhammad SAW yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat.
Di dalam al-Qur’an, di dalam surat al-Fatihah, surat terbesar dalam al-Qur’an, yang menjadi rukun shalat dan tidak sah shalat tanpanya, sebagaimana hadits: “Tidak ada shalat tanpa Fatihah”; surat yang dihapal oleh anak-anak kecil apalagi oleh orang dewasa, di dalamnya Allah berfirman: “Tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka”. Jalan yang lurus di sini adalah agama yang dianut oleh para Nabi, para shiddiq, shuhada’ dan kaum shalih seperti firman Allah:
“Dan barangsiapa yang menta‘ati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni‘mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (al-Nisaa’: 69).

Telah shahih di dalam  menyebut ayat ini “bukan jalan mereka yang
ral-Sunnah bahwa ketika Rasul Allah  dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” beliau mengatakan yang dimurkai adalah Yahudi dan yang sesat adalah Nasrani”.
Seandainya ada orang yang merubah-rubah makna Islam dengan mengatakan bahwa Islam bukanlah nama agama yang diterima tetapi sifat agama maka ini tertolak dan batil.

Pertama: Tertolak oleh ali-Imran: 85:
Yang mana dalam ayat ini kata Islam terkait dengan nama dan sebutan bukan dengan sifat dan sikap.

Kedua: Hadits Nabi SAW yang menafsiri surat al-Fatihah tadi. Seandainya kita katakan bahwa setiap agama yang mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan adalah diterima, tentu tidak ada bedanya antara agama Islam, Yahudi, Nasrani dan agama keberhalaan , sebab para penyembah berhala itupun niatnya menyembah Allah, bukankah mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (al-Zumar: 3)

Jadi mereka mengaku bertaqarrub kepada Allah. Maka ini adalah ucapan batil dan rusak, kesesatan yang nyata dan telanjang di depan mata, tidak memerlukan bantahan. Namun demikian kami telah membantahnya.
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun dari umat ini apakah Yahudi atau Nasrani yang mendengar tentang aku kemudian ia mati dan tidak beriman kepada agama yang aku bawa melainkan ia menjadi penghuni neraka” (HR. Muslim).
Lalu bagaimana ucapan mereka yang mengklaim bahwa semua agama sama saja? Bagaimana mereka menyamakan antara yang haq dan yang batil?!

Sumber agama ini adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Allah berfirman:

“Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (al-Isra’: 9)
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)


Inilah al-Qur’an yang telah dikatakan oleh Allah:

“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42)
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (al-Taubah: 6)


Maka Kalam (firman Allah) adalah sempurna seluruhnya, tidak ada cela, cacat atau kurang. Kalam Allah adalah sifat Allah. Bila Allah Yang Pemilik sifat adalah Maha sempurna, maka sifatnya adalah sempurna, tidak ada kekurangan sedikitpun di dalamnya.
Orang-orang yang tidak memahami hakikat al-Qur’an itu entah karena bodohnya atau sikap sok pintarnya mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Muntaj Tsaqafi (produk budaya). Sungguh kebohongan besar yang muncul dari mulut mereka. Bagaimana mungkin al-Qur’an disamakan dengan buku-buku lain yang dikarang oleh manusia, sedangkan Allah berfirman:
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (al-Mulk: 14)

Al-Qur’an diturunkan Allah melalui Jibril as kepada hati Muhammad saw.
“Dan Kami turunkan (Al Qur’an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur’an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran.” (al-Israa’: 105)

Bagaimana mungkin al-Qur’an yang sempurna keseluruhannya sejajar dengan produk manusia yang penuh dengan kekurangan?. Seandainya ucapan ini keluar dari orang yang telah ditegakkan hujjah atasnya tentu ia menjadi kafir, akan tetapi kita memakluminya karena kebodohannya. Kami nasehatkan kepada orang-orang seperti ini agar bertakwa kepada Allah, ingat kematian, kebangkitan, pertemuannya dengan Allah Penguasa alam semesta, hisab, pahala dan siksa.

Nabi saw bersabda: “Ingatlah sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya”. Yang semisal dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah. Permisalan di sini bukanlah dalam kedudukan dan kesucian. Kalam Allah sesuai dengan kesucian Dzat Allah saw, sedangkan kalam Rasul-Nya sesuai dengan diri Rasul Allah saw. Oleh karena itu, kesamaannya di sini adalah dalam bidang hukum; hukum-hukum al-Sunnah sama dengan hukum-hukum al-Qur’an, karena ia adalah wahyu seperti al-Qur’an.

Maka barangsiapa mencela sunnah, sebenarnya pukulan itu mengenai al-Qur’an sebelum al-Sunnah itu sendiri. Maka hendaklah ia bertaubat, kembali kepada akal sehatnya dan kembali kepada kebenaran. Sebelum datang waktu yang hanya berisi penyesalan, penyesalan yang tidak lagi berguna dan tidak pula didengar.
Akhirnya, saya akan menutup dengan dua perkara: yang satu bersifat umum, berkaitan dengan ceramah kita dan yang kedua bersifat khusus, berkaitan dengan Perguruan Tinggi Sunan Ampel.
Setelah kita jelaskan hakikat Islam –tidak ada satu agama yang diterima setelahnya dan bersamaan dengannya-, setelah kita jelaskan sumber-sumber agama Islam yaitu kitab Allah yang berisi hukum, hidayah dan Tasyri’. Setelah penjelasan tentang Sunnah Rasul saw yang ia adalah wahyu yang sama dengan al-Qur’an. Setelah penjelasan tentang akal dan kedudukannya yang amat tinggi dalam Islam untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah bukan untuk menghakimi dan menolak al-Qur’an dan Sunnah. Setelah penjelasan tentang Abu Hurairah ra, kedudukan dan keutamaannya dan bahwa dia adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits, saya mengatakan: “Di antara manhaj ilmi yang benar yang wajib diketahui adalah al-Qur’an dan Sunnah harus kita pahami sesuai dengan pemahaman para Salaf Shalih. Secara ringkas saya sebutkan dua dalil berikut ini.

Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (al-Nisaa’: 115)

Ini adalah isyarat kepada pemahaman lurus yang ada pada para sahabat ra. Karena itu wajib memahami al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan pemahaman para Salaf Shalih dan tidak boleh memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari pemahaman mereka.

Kedua, hadits Nabi saw:
“Sebaik-baik generasi manusia adalah generasiku kemudian generasi berikutnya kemudian berikutnya”.

Tidak mungkin Khairiyyah (nilai kebaikan) di sini dikaitkan dengan jaman, atau tempat, atau orang atau fisik. Akan tetapi kebaikan yang dimaksud adalah kebaikan iman, kepatuhan, pemahaman, ilmu dan amal. Dan kebaikan ini ada pada tiga kurun yang utama tersebut agar menjadi pelita bagi generasi sesudahnya.

Tiga Fenomena yang Memprihatinkan di IAIN (UIN) :
Terakhir, perkara yang khusus adalah: saya memuji Allah swt yang telah memudahkan adanya muhadharah ini. Namun saya sangat terheran-heran dan tidak habis pikir Perguruan Tinggi yang dengan bangga menyematkan label Islam, dibelakangnya ini yaitu al-Jami’ah al-Islamiyyah bukan al-Jami’ah al-Mukhalifah lil Islam, bukan Perguruan Tinggi yang ingin menolak Islam, saya menemukan di dalamnya tiga fenomena yang memprihatinkan:
1. Banyak akhwat, Mahasiswi yang tidak mengenakan pakaian syar’i atau hijab Islami. Hijab yang dimaksud bukan hanya menutup kepala, tetapi menutup seluruh tubuh dan seluruh badan, tidak menampakkan bentuk tubuh dan perhiasan.
2. Banyak pemuda, Mahasiswa yang duduk-duduk dengan Fatayat. Tidak mungkin pemuda itu ayahnya, saudaranya, atau suaminya. Kalaupun ada paling satu di antara seratus, sedang sisanya apa yang dilakukan di Perguruan Tinggi Islam ini?!
3. Kita sekarang berada di rumah Allah, berdzikir kepada Allah menuntut ilmu Allah, dan saya sendiri datang dari jauh, dari balik Samudra Hindia, sementara saudara-saudara kita dengan santai ada yang duduk-duduk di pinggir jalan, ada yang di atas tangga, ada yang di halaman, ada yang di pojok sana dan pojok sini, mengapa tidak berkumpul di sini, di rumah Allah ini, mendengarkan dan mengikuti majelis ilmu, sesuai dengan do’anya: “Ya Rabb, tambahkan ilmu kepadaku”.

Harapan saya pada Institut (Agama Islam Negeri) Sunan Ampel ini, semoga pada kunjungan saya yang akan datang fenomena yang “menakjubkan” ini dapat dihilangkan atau dapat diminimalisir semaksimal mungkin.

Dr. Muhammad Musa Alu Al-Nashr
Pengantar Penerjemah

Pagi itu, tepat jam 09.00 WIB, Hari Rabu, 8 Desember 2004 saya bertugas menerjemah Tabligh Akbar yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Musa Al-Nashr di Masjid UIN (Universitas Islam Negeri) Malang.
Setelah acara dibuka oleh panitia, sambutan tuan rumah disampaikan oleh Ust. H. Ahmad Lalu Khusairi, MA, Staff Pasca Sarjana UIN. Dengan bahasa Arab yang fasih Ustadz Ahmad menjelaskan kondisi bangsa Indonesia yang rata-rata tidak mensyukuri nikmat akal. Oleh karena itu tidak heran bila acara-acara pengajian dan majlis ilmu yang lain tidak diminati, tetapi acara-acara yang bersifat sia-sia, hiburan, permainan (bahkan yang bid’ah dan maksiat) dibanjiri oleh pengunjung, meskipun harus dengan membayar mahal. Oleh karena itu Ustadz Ahmad menghimbau agar hadirin menyimak apa yang akan disampaikan oleh yang mulia Syaikh Muhammad Musa.

Setelah itu, saya selaku penerjemah memberikan mukaddimah singkat sebelum Tabligh Akbar dimulai. Saya terangkan bahwa tamu kita kali ini adalah Fadhilah al-Syaikh DR. Abu Anas Muhammad ibn Musa Alu Al-Nashr. Beliau adalah Doktor di bidang tafsir. Beliau juga praktisi al-Thibb al-Nabawi (ilmu pengobatan Nabi). Beliau juga seorang atlit angkat besi dan tembak. Beliau salah satu murid senior dari Syaikh Nashiruddin al-Albani. Dan beliau telah menulis lebih dari 40 kitab. Antara lain adalah: Manhaj al-Salamah Fi ma Warada Fi al-Hijamah, Ma’alim al-Manhaj al-Nabawi Fi al-Dakwah ila Allah, al-Aql wa Manzilatuhu Fil Islam, Bida’ al-Qurra’, dll.

Setelah itu Syaikh Abu Anas memulai ceramahnya di hadapan 200-an civitas akademika UIN dan Perguruan Tinggi lain yang menyempatkan diri untuk mengikuti majlis tersebut.

Setelah Syaikh Muhammad Musa berceramah tentang factor keberuntungan, maka ada dialog.


Tak Percaya Adzab Kubur, Warisan Mu’tazilah

Soal Jawab

Soal 1:
Bagaimana dengan orang yang berdakwah dan ingin menegakkan Islam melalui jalur politik
 atau partai politik?

Jawab:
Ini menyalahi manhaj dakwah para Nabi as. Nabi kita Muhammad saw ditawari harta, wanita dan kekuasaan asal beliau meninggalkan dakwah tauhid, tetapi beliau tidak mau. Beliau tetap memilih jalan dakwah yaitu membangun pondasi, memulai dengan masyarakat, menanamkan tauhid di hati masyarakat. Allah berfirman:

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” (al-Jumu’ah: 2)

Selama 13 tahun di Mekkah beliau selalu berkata kepada masyarakat:
“Wahai manusia, ucapkanlah لااله الاالله pasti kalian beruntung.

Kalau ada orang membangun atap sebelum pondasi pasti atap itu akan ambruk, jatuh di atas kepalanya. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi buah hasil dari dakwah, maka dari itu harus dimulai dari pemantapan tauhid di hati masyarakat…… Barangsiapa ingin kekuasaan sebelum dakwah dan tarbiyah pasti gagal……

Sebelum berbuah, pohon akidah yang ditanam memerlukan perawatan, penyiraman dan pemupukan yang cukup lama dan intensif, baru setelah itu bisa kita tunggu dan kita harapkan buahnya.

Soal 2:
Ada orang yang bilang bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada keterangan adanya adzab kubur, bagaimana menanggapinya?

Jawab:
Adzab kubur ada dalam ayat-ayat al-Qur’an. Seandainya tidak ada maka keterangan adzab kubur ada dalam sunnah yang mutawatir. Imam Baihaqi telah menulis satu kitab besar tentang adzab kubur. Tidak meyakini adzab kubur atau mengingkarinya adalah pikiran asing dalam Islam, sisa-sisa dari Mu’tazilah dan Khurafat ahli bid’ah. Yang mengingkari adzab kubur bukanlah termasuk Ahli Sunnah wal Jamaah. Adzab kubur ada dalam al-Qur’an yaitu pada firman Allah:

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir‘aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Ghafir: 46)

Api yang dimaksud adalah api dalam kubur, karena alam kubur adalah persinggahan akhirat yang pertama. Adakalanya ia adalah satu taman dari taman-taman surga atau satu jurang dari jurang-jurang neraka. Api Barzakh itu ditampakkan kepada Fir’aun dan bala tentaranya pada waktu pagi dan sore. Kemudian pada hari kiamat dikatakan: “Masukkanlah”, dalam satu qira’ah: “Masuklah”. Hal ini diterangkan oleh Imam Thabari, ibn Katsir dan lainnya.

Allah berfirman:

“Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan” (al-Mukminuun: 99-100)

Alam Barzakh adalah alam kubur yg isinya adalah seperti yg ada dlm. hadits Bara’.

Jika yang meninggal orang shalih maka dikatakan kepada para malaikat: “Hamparkan untuknya di dalam surga, dan berilah ia pakaian dari surga dan bukakanlah untuknya satu pintu menuju surga”. Namun jika yang mati itu orang munafiq atau kafir maka dikatakan kepada para malaikat: “Hamparkan untuknya dalam neraka, berilah ia pakaian dari neraka dan bukakanlah untuknya satu pintu menuju neraka” (Diriwayatkan dalam kitab Sunan dan Masanid).

Amat disayangkan sebagian Hizb (kelompok) yang berintisab kepada Islam tidak mau meyakini bahkan mengingkari adzab kubur atau mengatakan bahwa mengimaninya tidak wajib atau bahkan haram dan berdosa. Akidah yang menyimpang itu bukanlah baru. Ini adalah warisan dari Mu’tazilah pada zaman dulu.

Taruhlah kita mengalah, bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada keterangan tegas tentang adzab kubur. Tetapi dikemanakan hadits-hadits ini?! Siapa bilang kalau dia hadits ahad?!. Para ulama hadits mengatakan hadits ini mutawatir. Apakah mereka yang lebih mengerti tentang hadits, ataukah para ulama ahli hadits?! Jika engkau termasuk orang yang meyakini akidah sesat ini, maka bertaubatlah, kembalilah kepada akidah sahabat, tabi’in dan seluruh ulama ahlu sunnah.

Demikianlah ringkasan dari ceramah dua Syaikh, murid ahli hadits terkemuka, Syaikh Al-Albani di IAIN Sunan Ampel Surabaya dan UIN Malang Jawa Timur.

Apakah itu yang diinginkan?


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------