Banci Dan Persoalan Fikih Shalatnya
6 March 2015,
Banci, atau dalam bahasa arab
disebut khuntsa (الخنثى)
terbagi menjadi dua:
Khuntsa ghayru musykil, الخنثى غير مشكل yaitu
yang diketahui tanda-tanda kelaminnya apakah ia laki-laki atau wanita. Maka
hukum-hukum fikih yang berlaku padanya sesuai dengan tanda-tanda
kelamin yang nampak padanya. Jika tanda-tanda kelaminnya menampakkan ia
laki-laki, maka berlaku hukum sebagaimana laki-laki. Demikian juga jika
tanda-tanda kelaminnya wanita, maka berlaku hukum wanita.
Khuntsa musykil,الخنثى مشكل yaitu tidak diketahui atau tidak
jelas tanda-tanda kelaminnya. Atau tidak diketahui secara pasti ia
laki-laki atau wanita, atau tanda-tanda yang ada saling bertentangan sehingga
menimbulkan keraguan.
Maka untuk khuntsa musykil
ini ada beberapa hukum fikih yang perlu diketahui:
1. Banci (khuntsa
musykil) tidak wajib shalat jama’ah di masjid
Ia tidak diwajibkan shalat berjamaah
di masjid, dan hendaknya ia shalat di rumah.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الخُنثى هو : الذي
لا يُعلم أذكرٌ هو أم أُنثى ، فلا تجب عليهم الجماعةُ ؛ وذلك لأن الشرط فيه غير
متيقَّن ، والأصلُ براءةُ الذِّمَّةِ وعدمُ شغلِها
“khuntsa adalah orang yang tidak
diketahui ia laki-laki atau wanita. Ia tidak wajib shalat berjama’ah, karena
syarat diwajibkannya shalat jama’ah (yaitu laki-laki) tidak bisa dipastikan ada
pada dirinya. Dan hukum asalnya adalah bara’atu dzimmah (tidak ada
kewajiban) dan tidak adanya tuntutan untuk melakukannya” (Asy Syarhul
Mumthi’, 1/140).
2. Banci (khuntsa
musykil) boleh shalat di masjid namun ditempatkan pada shaf khusus
Walaupun tidak diwajibkan shalat di
masjid, banci tetap boleh shalat di sana dan shalatnya sah. Namun sebaiknya
ditempatkan pada shaf khusus.
” لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي
أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ رِجَالٌ ، وَصِبْيَانٌ ، وَخَنَاثَى ، وَنِسَاءٌ ، فِي
صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ ، تَقَدَّمَ الرِّجَال ، ثُمَّ الصِّبْيَانُ ، ثُمَّ الْخَنَاثَى
، ثُمَّ النِّسَاءُ ، وَلَوْ كَانَ مَعَ الإْمَامِ خُنْثَى وَحْدَهُ ، فَصَرَّحَ
الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّ الإْمَامَ يَقِفُهُ عَنْ يَمِينِهِ ، لأِنَّهُ إِنْ كَانَ
رَجُلاً ، فَقَدْ وَقَفَ فِي مَوْقِفِهِ ، وَإِنْ كَانَ امْرَأَةً لَمْ تَبْطُل
صَلاَتُهَا بِوُقُوفِهَا مَعَ الإْمَامِ ، كَمَا لاَ تَبْطُل بِوُقُوفِهَا مَعَ
الرِّجَال .
وَالْمَشْهُورُ
عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ مُحَاذَاتَهُ لِلرَّجُل مُفْسِدَةٌ لِلصَّلاَةِ ”
انتهى .
“tidak ada khilaf di antara pada fuqaha bahwa jika dalam
shalat jama’ah ada laki-laki, anak kecil, banci, dan wanita, maka urutannya
dari yang terdepan adalah laki-laki, lalu anak kecil, lalu banci, lalu wanita.
Jika yang menjadi makmum hanya ada 1 orang banci, ulama Hanabilah menegaskan bahwa banci tetap
berdiri di sebelah kanan imam. Karena jika hakikatnya dia itu laki-laki, maka
sudah benar tempatnya. Dan jika hakikatnya dia wanita, maka shalat tidak
menjadi batal jika ada wanita berdiri di sebelah imam, sebagaimana juga tidak
batal shalat seorang wanita jika ia berdiri di sebelah laki-laki. Dan
yang masyhur di kalangan ulama Hanafiyah, banci yang berdiri sejajar
dengan imam menyebabkan batalnya shalat” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al
Kuwaitiyyah, 25/20).
3. Banci (khuntsa
musykil) shalat dengan menutup aurat sebagaimana aurat wanita
Sebagian ulama berpendapat banci
wajib shalat dengan menggunakan penutup aurat yang menutupi bagian tubuh
yang termasuk aurat wanita. Dikarenakan adanya kemungkinan bahwa ia adalah
wanita, dan ini merupakan pendapat yang lebih hati-hati.
” يَرَى الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ
أَنَّ عَوْرَةَ الْخُنْثَى كَعَوْرَةِ الْمَرْأَةِ حَتَّى شَعْرُهَا النَّازِل
عَنِ الرَّأْسِ خَلاَ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ، …… وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهُ
يَسْتَتِرُ سَتْرَ النِّسَاءِ فِي الصَّلاَةِ وَالْحَجِّ بِالأْحْوَطِ ،
فَيَلْبَسُ مَا تَلْبَسُ الْمَرْأَةُ . وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَالْخُنْثَى
عِنْدَهُمْ كَالرَّجُل فِي ذَلِكَ ؛ لأِنَّ سَتْرَ مَا زَادَ عَلَى عَوْرَةِ
الرَّجُل مُحْتَمَلٌ ، فَلاَ يُوجَبُ عَلَيْهِ أَمْرٌ مُحْتَمَلٌ وَمُتَرَدِّدٌ ”
انتهى .
“Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa aurat
banci itu sebagaimana aurat wanita. Bahkan termasuk juga rambut yang ada di
wajahnya, selain wajah dan telapak tangan. Dan Malikiyyah menegaskan bahwa
wajib bagi banci untuk menutup aurat sebagaimana aurat wanita dalam shalat,
dalam rangka kehati-hatian. Maka, banci memakai busana yang biasa dipakai
wanita (dalam shalat). Adapun Ulama Hanabilah, berpendapat bahwa aurat banci
itu seperti aurat laki-laki. Karena adanay tambahan kewajiban menutup aurat
lebih dari aurat laki-laki itu masih muhtamal (belum pasti). Maka perkara yang muhtamal
dan mutaraddid (simpang-siur) tidak bisa memberikan beban wajib
kepadanya” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 20/23).
Al Bahuti juga mengatakan:
قَالَ الْمَجْدُ : وَالِاحْتِيَاطُ لِلْخُنْثَى
الْمُشْكِلِ : أَنْ يَسْتُرَ كَالْمَرْأَةِ
“Al Majd berkata: pendapat yang
lebih hati-hati untuk khuntsa musykil adalah wajib menutup aurat sebagaimana
aurat wanita” (Syarah Al Muntaha, 1/150).
Abul Fadhl Al Hanafi juga
mengatakan:
وَيُصَلِّي
بِقِنَاعٍ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ امْرَأَةٌ
“banci hendaknya shalat menggunakan
penutup wajah karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita” (Al Ikhtiyar,
3/39).
4. Banci (khuntsa musykil) tidak
boleh mengimami laki-laki atau banci
Banci tidak boleh mengimami
laki-laki dan banci, namun boleh mengimami wanita.
وَلاَ تَصِحُّ
إِمَامَةُ الْخُنْثَى لِلرِّجَال وَلاَ لِمِثْلِهَا بِلاَ خِلاَفٍ ؛ لاِحْتِمَال
أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً وَالْمُقْتَدِي رَجُلاً ، وَتَصِحُّ إِمَامَتُهَا
لِلنِّسَاءِ مَعَ الْكَرَاهَةِ أَوْ بِدُونِهَا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
“tidak sah status imam seorang banci
jika makmumnya laki-laki dan juga jika makmumnya banci semisal dia, tanpa
adanya khilaf dalam masalah ini. Karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita,
sedangkan yang diimami laki-laki. Namun sah status imamnya, jika makmumnya
wanita, namun makruh (menurut sebagian ulama) atau tidak makruh menurut jumhur
ulama” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 6/204).
5. Posisi banci (khuntsa
musykil) ketika mengimami wanita
Para ulama khilaf mengenai posisi
banci ketika mengimami wanita.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ مَا عَدَا
ابْنَ عَقِيلٍ إِلَى أَنَّ الْخُنْثَى إِذَا أَمَّ النِّسَاءَ قَامَ أَمَامَهُنَّ
لاَ وَسَطَهُنَّ ؛ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ رَجُلاً ، فَيُؤَدِّي وُقُوفُهُ
وَسَطَهُنَّ إِلَى مُحَاذَاةِ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ .
ويَرَى
الشَّافِعِيَّةُ أَنَّ التَّقَدُّمَ عَلَيْهِنَّ مُسْتَحَبٌّ ، وَمُخَالَفَتُهُ
لاَ تُبْطِل الصَّلاَةَ . وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ : يَقُومُ وَسَطَهُنَّ وَلاَ
يَتَقَدَّمُهُنَّ
“Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah selain Ibnu
Aqil berpendapat bahwa jika banci mengimami wanita maka ia berdiri di depan,
bukan di tengah shaf. Karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki, sehingga
jika ia ditempatkan pada tengah shaf maka ini artinya ada kesejajaran antara
shaf wanita dan laki-laki (dan ini terlarang, pent). Namun Syafi’iyyah
berpendapat hal itu mustahab (sunnah), sehingga jika dilanggar tidak
menyebabkan batalnya shalat. Adapun Ibnu Aqil, ia berpendapat: banci berdiri di
tengah shaf bukan di depan” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,
25/20).
6. Banci (khuntsa
musykil) tidak boleh menjadi makmum dari imam wanita
Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin mengatakan:
لا يصحُّ أن تكون المرأةُ إماماً للخُنثى ؛
لاحتمالِ أن يكون ذَكَراً
“tidak sah jika wanita menjadi imam
bagi banci, karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki” (Asy Syarhu Al
Mumthi’, 4/223).
Wallahu a’lam.
***
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------