Apa Kata Imam Bukhari Dan Imam Syafii Rahimahumallah
Tentang Syi`ah ?
KIBLAT.NET – sebulan yg lalu (medio
Maret 2015) Perdebatan tentang kesesatan aliran Syiah dan masih menjadi
perbincangan akhir-akhir ini semakin memanas. Terutama setelah hashtag
#SyiahBukanIslam ramai di media sosial, disusul dengan spanduk-spanduk dengan
kalimat yang sama di beberapa daerah merespon serangan Syiah ke jamaah Masjid
Az-Zikra Sentul.
Konon, Syiah dibagi menjadi tiga:
Syiah moderat, Syiah Rafidhah dan Rafidhah Ekstrem. Apakah mereka semua sesat?
Saya mencoba mengulasnya secara historis bagaimana sebenarnya faktanya
berdasarkan analisis para ulama.
Spanduk Bertuliskan “Syi’ah Bukan
Islam” Bertengger di Masjid Gedhe Kraton Kasultanan Yogyakarta
Asal Usul Syiah
Anda mungkin pernah mendengar dialog
antara ulama Sunni dan Syiah tentang orang-orang Syiah yang suka mencuri sandal
pada zaman Nabi SAW. Dialog berakhir setelah ulama Syiah membantah kebiasaan
mencuri itu karena Syiah belum ada pada masa itu.
Tidak diketahui dari mana sumber
kisah ini, ada yang mengatakan bahwa itu hanya lelucon untuk Syiah saja. Namun
hal itu menimbulkan pertanyaan, yang bukan lelucon bagaimana, benarkah
Syiah belum ada pada masa Nabi? Lantas kapan Syiah muncul? Berikut beberapa
pendapat, terutama dari ulama-ulama Syiah sendiri:
Syiah muncul pada awal Islam pada
zaman Nabi saw dan dibawa oleh Beliau sendiri. Beliau menyeru kepada tauhid dan
pengagungan Ali secara bersamaan. Pendapat ini diyakini oleh para ulama Syiah
seperti Muhammad Husein Az-Zain,[1]
An-Nubakhti,[2]
Khamaeini.[3]
Bahkan Hazan Asy-Syirazi mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali Syiah. Tidak ada
Syiah kecuali Islam. Islam dan Syiah adalah dua nama yang hakikatnya adalah
satu yang diturunkan oleh Allah dan kabar gembira yang dibawa Rasul.”[4]
Syiah muncul pada perang Jamal,
ketika Ali berperang dengan Thalhah dan Zubair. Pendapat ini diyakini oleh Ibnu
Nadim (Abul Faraj Muhammad bin Ishaq Al-Baghdadi, dikenal sebagai penganut
mu’tazilah dan syiah). Ia mengklaim bahwa orang-orang yang berjalan bersama Ali
dan mengikutinya pada waktu itu, mereka disebut Syiah.[5]
Syiah muncul pada perang Shiffin.
Ini adalah pendapat Al-Khuwansari, Ibnu Hamzah Ath-Thusi, Abu Hatim, Ibnu Hazm,
dan Ahmad Amin.[6]
Syiah muncul setelah kematian Husein
ra. Ini adalah pendapat Kamil Musthafa Asy-Syaibi. Ia adalah ulama
Syiah. Mengklaim bahwa Syiah setelah kematian Husein berubah menjadi aliran
yang memiliki ciri khas.[7]
Syiah muncul pada akhir kekuasaan
Utsman dan menguat pada masa Ali.[8]
Pendapat yang mengatakan bahwa Syiah
sudah ada pada zaman Nabi SAW dan kata-kata Syiah telah beredar luas pada masa
itu beliau tidaklah bersandar kepada dalil apa pun kecuali kepalsuan.
Ulama Syiah, Muhammad Mahdi
Al-Husaini Asy-Syirazi mengatakan,[9]
“Mereka dinamai oleh Rasul dengan sebutan itu (Syiah) karena beliau memberikan
isyarat kepada Ali as:
هَذَا وَشِيعَتُهُ هُمُ الْفَائِزُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Namun ini adalah pendapat palsu.
Seperti disebutkan oleh Muhammad Al-Husein di Ashlusy Syi’ah wa Ushuliha, pendapat
yang mengatakan bahwa lafaz Syiah sudah ada pada zaman Nabi hanya bersandar
pada kepalsuan.
Syiah menguatkan pendapat itu dengan
riwayat yang direka-reka atas nama Nabi saw. Tidak ada yang shahih satu pun.
Ulama Syiah sendiri, Ibnul Hadid, mengatakan, “Sumber kepalsuan dalam
hadits-hadits keutamaan (fadhail) adalah dari Syiah. Pada awal
masalah ini, Syiah membuat banyak hadits palsu tentang keutamaan imam-imam
mereka. Mereka mereka-reka hadits ini untuk alat permusuhan.” [11]
Menurut para peneliti[12]pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat ketiga, yakni Syiah muncul setelah perang
Shiffin, ketika khawarij membelot dan membentuk kelompok sendiri di Nahrawan.
Pada sisi lain yang berlawanan dengan Khawarij, muncullah para pengikut dan
pendukung Ali yang menjadi cikal bakal pemikiran Syiah dan menguat secara
bertahap sampai ekstrem.
Analisis tersebut menunjukkan adanya
kesamaan dalam proses lahirnya kesesatan dan aliran menyimpang, mulai
dari kaum Nuh masa lalu, Syiah, Khawarij, Nawashib, sampai Yazidi di Irak.
Khawarij lahir dari kekecewaan kepada pihak tertentu, lalu berkembang menjadi
kebencian, pengafiran dan penghalalan darah.
Tidak berbeda, Syiah lahir dari
dukungan kepada Ali bin Abi Thalib, lalu menjadi kecintaan yang berlebihan
bahkan sampai menuhankannya. Ali bin Abi Thalib sendiri pada masa hidupnya
telah membakar orang-orang yang menuhankan dirinya. Imam Bukhari meriwayatkan
dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali
memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali).”
Syiah pada Masa Ulama Hadits dan
Imam Mazhab
Tahapan perubahan keyakinan aliran
Syiah terus berkembang. Definisi-definisi ulama ahli hadits dan rijalul
hadits menunjukkan adanya perbedaan antara Syiah masa lalu dan masa itu.
Hal ini dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar:
التشيع في عرف
المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان ، وأن عليا كان مصيبا في حروبه ، وأن
مخالفه مخطئ ، مع تقديم الشيخين وتفضيلهما ، وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق
بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا
فلا ترد روايته بهذا ، لا سيما إن كان غير داعية
وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض ، فلا تقبل رواية الرافضي
الغالي ولا كرامة
‘Tasyayyu’
dalam definisi para ulama masa lalu (salaf), ialah meyakini bahwa Ali lebih
utama daripada Utsman, atau bahwa Ali di pihak yang benar dalam semua
peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru, dengan
tetap meyakini Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) lebih utama dan mulia
daripada Ali. Sebagian dari kaum Syiah (masa lalu) mungkin saja menganggap Ali
sebagai manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bila orang yang berkeyakinan seperti
itu adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil
ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena
keyakinan tersebut. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada
pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’
dalam definisi ulama masa sekarang (ulama setelah generasi salaf) ialah
Rafidhah tulen. Maka seorang Syiah ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan
tidak bernilai sama sekali. (Tahdzib At-Tahdzib, 1/81)
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata:
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال
في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي فإن انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض
فغال في الرفض وإن اعتقد الرجعة إلى الدنيا فأشد في الغلو
“Tasyayyu’ adalah mencintai
Ali dan mengutamakannya dibanding semua sahabat lain, dan jika mengutamakannya
diatas Abu Bakar dan Umar maka dia tasyayyu’ ekstrem yang disebut
Rafidhah dan jika tidak maka disebut Syiah, Jika diringi dengan mencela dan
membenci keduanya maka disebut Rafidhah ekstrem. Jka mempercayai Raj’ah bahwa
Ali kembali ke dunia maka disebut Rafidhah yang sangat ekstrem. (Hady
As-Sari Muqaddimah Fathil Bari, 1/460)
Definisi Ibnu Hajar dalam dua kitab
tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa karakter dalam aliran Syiah:
Tasyayyu’=Syiah:
Mencintai Ali dan mengutamakannya daripada sahabat lain dengan tetap meyakini
Abu Bakar dan Umar lebih utama daripada Ali.
Tasyayyu’
ekstrem=Rafidhah: Mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar.
Rafidhah ekstrem: Mencela Abu Bakar
dan Umar
Rafidhah sangat ekstrem: meyakini
Raj’ah (hidupnya kembali imam-imam Syiah di akhir zaman).
Artinya, ada Syiah yang tidak
ekstrem dan Syiah ekstrem yang disebut Rafidhah dengan tiga karakter
masing-masing. Namun, menurut Imam Adz-Dzahabi, Syiah Ekstrem pada masa lalu
dan masa sekarang memiliki perbedaan karakter. Hal ini diungkapkan dalam
kitabnya:
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير
وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في
زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال
معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل
منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
“Penganut Syiah ekstrem pada zaman
para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencela
Utsman, Zubair, Thalhah, Muawiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi Ali.
Sedangkan penganut Syiah Ekstrem
pada zaman kita dan yang kita definisikan ialah mereka yang mengkafirkan para
tokoh itu (para sahabat) dan memusuhi Abu Bakar dan Umar. Orang seperti ini
jelas sesat dan tergelincir.” (Mizanul I’tidal, I/118).
Adz-Dzahabi berbicara dalam konteks
jawaban atas pertanyaan bagaimana penganut akidah Syiah bisa diambil haditsnya
dan bisa dianggap tsiqah. Maka beliau menjelaskan bahwa Syiah masa lalu dan
Syiah pada zamannya berbeda. Artinya, perawi Syiah yang diambil haditsnya pada
masa lalu itu tidak sama dengan para penganut Syiah pada masa Imam Adz-Dzahabi.
Syiah yang bisa dipercaya itu tidak ada dan tidak ditemukan pada masa hidup
Imam Adz-Dhahabi. Hal ini diungkapkan olehnya:
فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم
والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
“Saat ini aku
tidak mengetahui ada seorang pun (penganut Syiah) dalam masalah ini, yang
memiliki kejujuran dan bisa dipercaya. Sebaliknya, berdusta telah menjadi
semboyan mereka. Taqiyah (bermuka dua) dan kemunafikan telah menjadi
jubah mereka. Bagaimana mungkin orang yang seperti ini bisa diterima
riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.” (Mizanul I’tidal, I/118).
Perlu disebutkan bahwa definisi
adalah uraian pengertian yang berfungsi membatasi objek, konsep, dan
keadaan berdasarkan waktu dan tempat suatu kajian.[13]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ialah rumusan tentang ruang
lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan
atau studi.[14]
Definisi merupakan usaha para ilmuwan untuk
membatasi fakta dan konsep.[15]
Artinya, definisi berubah ketika faktanya berubah. Definisi Syiah oleh Ibnu
Hajar dan Adz-Dzahabi menunjukkan hal ini, karena fakta Syiah masa lalu tidak
sama dengan Syiah masa sekarang.
Perubahan Sikap Ulama terhadap Syiah
Perbedaan karakter Syiah masa lalu
dan masa selanjutnya melahirkan sikap yang jelas dan tegas dari para ulama.
Imam Bukhari di kitab Khalqu Af’alil ‘Ibad mengatakan:
ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا
يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
“Aku tidak membedakan apakah aku
shalat bermakmum di belakang seorang penganut Jahmiyah atau Rafidhah, ataukah
bermakmum di belakang Yahudi dan Nasrani (semuanya tidak sah). Mereka tidak
boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi
(wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya.”
Imam Bukhari sangat tegas. Penulis
kitab hadits yang dinilai sebagai kitab paling shahih setelah Al-Qur’an
tersebut menyamakan Syiah dengan Yahudi dan Nasrani. Tidak ada ucapan salam,
tidak dilayat jenazahnya, tidak dinikahi wanitanya, dan tidak dimakan
sembelihannya adalah konsekuensi terhadap orang yang murtad dan keluar dari
Islam.
Para Imam Mazhab juga tidak kalah
tegas dalam hal ini. Imam Ahmad seperti disebutkan dalam kitab As-Sunnah
(1/493), pernah ditanya oleh Abdullah putranya:
سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ما
أراه على الإسلام
“Aku bertanya kepada ayahku tentang
seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi SAW. Maka ayah menjawab,
‘Menurutku ia tidak berada di atas Islam’.”
Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
لم أر أحداً من
أصحاب الأهواء، أكذب في الدعوى، ولا أشهد بالزور من الرافضة
“Saya tidak pernah melihat seorang
pun di antara para pengikut hawa nafsu yang lebih dusta dalam pengakuan dan
lebih bohong dalam kesaksian daripada Rafidhah.” (Al-Ibanah, II, 545).
Syiah Hari Ini dan Sikap Ulama
Syiah hari ini dapat dilihat dengan
jelas di Iran. Karakter dan keberadaan Syiah di beberapa negara lain, termasuk
Indonesia mulai tampak jelas dengan pecahnya revolusi Suriah. Terutama pada
pertengahan 2013 saat kekuatan militer rezim
Syiah Bashar Asad mulai melemah.
Masuknya Hizbullah Lebanon dalam pertempuran Qushair pada pertengahan Mei-Juni
2013 telah mengundang perhatian ulama dunia untuk bersikap. Salah satunya
adalah pertemuan ulama dunia di Kairo Mesir pasca peristiwa itu, yang
melahirkan fatwa kewajiban umat Islam untuk menolong Ahli Sunnah Suriah yang
dizalimi.
Yang terbaru adalah pemberontakan
Syiah Hautsi Yaman yang telah merebut Ibukota Shan’a pada September 2014 lalu.
Yaman adalah basis Syiah Zaidiyah,
yang dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syiah yang dekat dengan ahli
Sunnah. Sebagian kalangan menyebutnya Syiah Moderat. Zaidiyah dinisbatkan
kepada imam mereka, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (80-122H).
Imam Zaid memimpin revolusi melawan Bani Umayyah pada masa Hisyam bin Abdul
Malik (122H).
Sekte Zaidiyah masih mengakui
kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Mereka juga enggan untuk melaknat keduanya
sebagaimana sekte-sekte Syiah yang lain. Namun, Syiah Zaidiyah hari ini telah
berubah. (baca: Pergeseran Zaidiyah).
Wilayah Saada, Yaman Utara tempat bermukim mereka telah menjadi basis kekuatan
kelompok Hautsi, yang berkiblat kepada Iran, terutama setelah pemimpin mereka,
Badrudin Al-Hautsi, pulang dari Iran.
Dr. Yusuf Qardhawi Menyesali :
Sebelumnya beberapa ulama ahli
sunnah berupaya mendekatkan (taqrib) Suni dan Syiah. Salah satu wujudnya
adalah penandatanganan Risalah Amman tahun 2004 oleh para ulama Suni dan Syiah,
dengan tiga poin kesepakatan, yang mengarah kepada upaya saling menghormati.
Namun, tokoh besar yang ikut menandatangani
Risalah tersebut, Dr Yusuf Al-Qardhawi, hari ini menyatakan telah tertipu
oleh Syiah. Kezaliman Syiah terhadap Ahli Sunah Suriah telah menyadarkannya.
Ulama kelahiran Mesir tersebut menceritakan pengalamannya di banyak negara
menjelaskan bahwa Syiah bukan hanya satu golongan saja. Namun fakta kekejaman
Syiah di Suriah membuat beliau menyatakan:
الشيعة خدعوني.. وحزب الله كذبة كبيرة
“Syiah telah menipuku.. dan
Hizbullah adalah pendusta besar.”[16]
Ketua
Persatuan Ulama Sedunia tersebut juga mengatakan, revolusi Suriah
menampakkan dan menjelaskan hakikat Hizbullah dan pendukungnya yang
tertipu oleh setan. Mereka, menurutnya, tidak pantas disebut hizbullah (tentara
Allah), tetapi hizbusy Syaithan (tentara setan).[17]
Konklusi
Sejarah telah menunjukkan perbedaan
yang jelas antara Syiah masa lalu dan masa sekarang. Syiah yang bisa dipercaya
itu sdh tidak ada pada zaman Imam Adz-Dzahabi yang hidup pada tahun 673-748
Hijriah, apalagi sekarang? Sikap ulama terhadap Syiah juga tegas, ketika
hakikat Syiah telah jelas bagi mereka. (Agus Abdullah)
-----------------------------------
Referensi:
[6]
Nama Ahmad Amin adalah dua orang. Kedua-duanya adalah penulis. Pertama adalah
seorang Mesir penulis buku Dhuha Al-Islam wa Fajrul Islam wa bada’a Al-Islam.
Kedua adalah seorang rafidhah penulis kitab At-Takamul fil Islam.
Syi’ah wa At-Tasyayyyu’, 25.
[10]
Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di Tarikh Dimasyq, 24/333 dan Ibnu Al-Ghathrif di
Juz’inya dari Abu Sa’id Al-Khudri, Al-Albani mengatakan dalam Adh-Dhaifah,
hadits ini palsu (maudhu’).
[14]
Departemen Pendidikan Nasional(2008);Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 303. Cet Pertama Edisi IV.
[16]
http://www.alarabiya.net/ar/arab-and-world/syria/2013/06/02/القرضاوي-الشيعة-خدعوني-وحزب-الله-كذبة-كبيرة-.html
lihat juga: http://youtu.be/N1rfdAAgWCA
0 komentar:
Mari berdiskusi...
--------------------------------------------------------------------
Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...
--------------------------------------------------------------------