Makna
Adab (Dr. Adian Husaini, ke-3/7
Dalam
sebuah hadits, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم
(Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka” (HR
Ibn Majah)
لأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ أَوْ
أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَتَصَدَّقَ كُلَّ يَوْمٍ بِنِصْفِ
صَاعٍ ….مسند أحمد
(Jika seseorang mendidik anaknya (menjadikan anaknya
beradab), maka itu lebih baik baginya daripada bersedekah setiap harinya
setengah sha’) (HR Imam Ahmad)
Istilah
“adab” dalam kedua hadits Nabi tersebut identik dengan istilah
Pendidikan saat ini. Karena itulah, istilah “adab” juga merupakan salah
satu istilah kunci dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab
dalam pandangan Islam. Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU,
menulis sebuah buku berjudul Aadabul ‘Aalim wal-Muta’allim (edisi
Indonesia: Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007).
Terjemahan harfiahnya: Adab Guru dan Murid. Buku ini membahas secara
panjang lebar tentang masalah adab. Kyai Hasyim Asy’ari membuka kitabnya
dengan mengutip hadits Rasulullah saw: “Haqqul waladi ‘alaa waalidihi
an-yuhsina ismahu, wa yuhsina murdhi’ahu, wa yuhsina adabahu.” (Hak
seorang anak atas orang tuanya adalah mendapatkan nama yang baik, pengasuhan
yang baik, dan adab yang baik).
Dikutip
juga perkataan sejumlah ulama. Hasan al-Bashry misalnya, yang menyatakan: “In
kaana al-rajulu la-yakhruja fii adabi nafsihi al-siniina tsumma siniina.” (Hendaknya
seseorang senantiasa mendidik dirinya dari tahun ke tahun).
Habib
bin as-Syahid suatu ketika menasehati putranya: “Ishhabil fuqahaa-a wa
ta’allam minhum adabahum, fainna dzaalika ahabbu ilayya min katsiirin minal
hadiitsi.” (Bergaullah engkau dengan para fuqaha serta pelajarilah adab
mereka. Sesungguhnya yang demikian itu akan lebih aku cintai daripada banyak
hadits.” Ruwaim juga pernah menasehati putranya: “Yaa bunayya ij’al ‘ilmaka
milhan wa adabaka daqiiqan.” (Wahai putraku, jadikanlah ilmumu seperti
garam dan adabmu sebagai tepung).
Ibn
al-Mubarak menyatakan: “Nahnu ilaa qaliilin minal adabi ahwaja minnaa ilaa
katsiirin mina ’ilmi.” (Mempunyai adab meskipun sedikit lebih kami
butuhkan daripada banyak ilmu pengetahuan).
Suatu
ketika Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang: ”Sejauh manakah perhatianmu
terhadap adab? Beliau menjawab: Setiap kali telingaku menyimak suatu pengajaran
budi pekerti meski hanya satu huruf, maka seluruh organ tubuhku akan ikut
merasakan (mendengarnya) seolah-olah setiap organ itu memiliki alat pendengaran
(telinga). Demikianlah perumpamaan hasrat dan kecintaanku terhadap pengajaran
budi pekerti.” Beliau ditanya lagi, ”Lalu bagaimanakah usaha-usaha
dalam mencari adab itu?” Beliau menjawab, ”Aku akan senantiasa mencarinya
laksana usaha seorang ibu yang mencari anak satu-satunya yang hilang.”
Maka,
dalam bukunya ini, Kyai Hasyim Asy’ari menuliskan kesimpulan:
”Kaitannya
dengan masalah adab ini, sebagian ulama lain menjelaskan, ”Konsekuensi dari
pernyataan tauhid yang telah diikrarkan seseorang adalah mengharuskannya
beriman kepada Allah (yakni dengan membenarkan dan meyakini Allah tanpa sedikit
pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu, tauhidnya
dianggap tidak sah. Demikian pula keimanan, jika keimanan tidak dibarengi
dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia
belum memiliki keimanan dan tauhid yang benar. Begitupun dengan pengamalan
syariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab, maka pada hakikatnya
ia belum mengamalkan syariat, dan belum dianggap beriman serta bertauhid kepada
Allah.
Berdasarkan
beberapa hadits Rasulullah saw dan keterangan para ulama di atas, kiranya tidak
perlu kita ragukan lagi betapa luhurnya kedudukan adab di dalam ajaran agama
Islam. Karena, tanpa adab dan perilaku yang terpuji maka apa pun amal ibadah
yang dilakukan seseorang tidak akan diterima di sisi Allah SWT (sebagai satu
amal kebaikan), baik menyangkut amal qalbiyah (hati), badaniyah (badan),
qauliyah (ucapan), maupun fi’liyah (perbuatan). Dengan demikian, dapat kita
maklumi bahwa salah satu indikator amal ibadah seseorang diterima atau tidak di
sisi Allah SWT adalah melalui sejauh mana aspek adab disertakan dalam setiap
amal perbuatan yang dilakukannya.” 10
Demikianlah
penjelasan KH Hasyim Asy’ari tentang makna adab. Menyimak paparan pendiri NU
tentang adab tersebut, maka tidak bisa tidak, kata ”adab” memang
merupakan istilah yang khas maknanya dalam Islam. Adab terkait dengan iman dan
ibadah dalam Islam. Adab bukan sekedar ”sopan santun” atau baik budi
bahasa. Maka, tentunya sangat masuk akal jika orang Islam memahami kata ”adab”
dalam sila kedua itu sebagaimana dipahami oleh sumber-sumber ajaran Islam dan
para ulama Islam. Sebab, memang itu istilah yang sangat khas dalam Islam.
Jika
adab hanya dimaknai sebagai ”sopan-santun”, maka bisa-bisa ada orang yang
menyatakan, Nabi Ibrahim a.s. sebagai orang yang tidak beradab, karena berani
menyatakan kepada ayahnya, ”Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu berada
dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74). Bisa jadi, jika hanya berdasarkan
sopan santun, tindakan mencegah kemunkaran (nahyu ’anil munkar)
akan dikatakan sebagai tindakan tidak beradab. Sebagian malah ada yang
menganggap, menanyakan identitas agama pada seseorang dianggap tidak sopan.
Banyak yang menganggap entang dosa zina, dan dianggap tidak etis jika masalah
itu diangkat ke permukaan, sementara masalah korupsi harta bisa diangkat ke
permukaan.
Islam
Memaknai Adab (Dr. Adian Husaini, ke-4/7)
Karena
itulah, menurut Islam – sekali lagi menurut ajaran Islam – harkat dan martabat
sesuatu adalah berdasarkan pada ketentuan Allah, dan bukan pada manusia atau
budaya. Sebagai contoh, kriteria orang yang mulia, menurut al-Quran adalah
orang yang paling taqwa. (Inna akramakum ’indallaahi atqaakum/QS 49:13).
Maka, seharusnya, dalam masyarakat yang beradab, kaum Muslim harus menghormati
seseorang karena keimanan dan ketaqwaannya; bukan karena jabatannya,
kekayaaannya, kecantikannya, atau popularitasnya. Itu baru namanya beradab,
menurut al-Quran. Begitu juga ketika al-Quran memuliakan orang yang berilmu (QS
35:28, 3:7, 58:11), maka sesuai konsep adab, seorang Muslim wajib
memuliakan orang yang berilmu dan terlibat dalam aktivitas keilmuan. Masyarakat
yang beradab juga masyarakat yang menghargai aktivitas keilmuan. Tentu menjadi
tidak beradab, jika aktivitas keilmuan dikecilkan, sementara aktivitas hiburan
diagung-agungkan. Tidak mungkin suatu bangsa akan maju jika tidak menjadikan
tradisi ilmu sebagai bagian dari tradisinya.
Al-Quran
sangat menekankan, bahwa ada perbedaan antara orang yang berilmu dan yang tidak
berilmu. Orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. “Katakanlah,
tidaklah sama, orang yang tahu dan orang yang tidak tahu.” (QS 39:9). “Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu, beberapa derajat.” (QS 58:11).
Karena
itulah, Allah mengecam keras orang-orang yang tidak menggunakan segala
potensinya untuk berpikir dan meraih ilmu. Orang-orang seperti ini, dalam al-
Quran, disamakan derajatnya dengan binatang ternak: “Dan sesungguhnya
Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka
mempunyai qalb tapi tidak untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak digunakan untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS 7:179).
Bangsa
Indonesia tidak mungkin akan menjadi bangsa besar jika mengabaikan tradisi ilmu
yang benar sebagaimana digariskan dalam al-Quran ini. Jika budaya santai,
budaya hedonis, budaya jalan pintas, terus dikembangkan, maka hanyalah mimpi
saja untuk berangan-angan bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar yang
disegani dunia. Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah yang
menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Sebab soerang
Muslim senantiasa berdoa: ”Rabbi zidniy ’ilman” (Ya Allah, tambahkanlah
ilmuku). Lebih dari itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan doa, agar ilmu yang
dikejar dan dimiliki seorang Muslim adalah ilmu yang bermanfaat. Hanya dengan
ilmulah, maka manusia dapat meraih adab, sehingga dapat meletakkan sesuatu pada
tempatnya, sesuai ketentuan Allah SWT. Inilah konsep adab sebagaimana dipahami
oleh kaum Muslim.
Maka,
jika ditelaah, adalah sangat masuk akal menghipotesakan, bahwa masuknya kata ”adil”
dan ”adab” dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
usulan para tokoh Islam yang duduk dalam Panitia Sembilan. Perlu dicatat, bahwa
sebelum Panitia Sembilan bermusyawarah, Soekarno dan Muhammad Yamin sudah
mengajukan asas atau dasar ”peri-kemanusiaan” sebagai salah satu asas atau
dasar dari Dasar Negara Indonesia. Mengapa, misalnya, sila kedua itu tidak
berbunyi: Kemanusiaan yang sopan dan berbudi? Atau Kemanusiaan yang
sopan dan santun? Atau, hanya berhenti pada istilah kemanusiaan. Jika
demikian, maka akan sangat mungkin kata ini dimaknai secara fleksibel dan
netral agama. Inilah yang secara mendasar digugat oleh Mohammad Natsir dalam
pidatonya di Majelis Konstituante, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?”
Bagi yang memegang nilai-nilai relativisme dalam kebenaran dan moral,
maka makna ”kemanusiaan” akan memiliki makna yang nisbi dan tidak absolut,
tergangung pada tradisi atau kesepakatan suatu masyarakat. Seperti disinggung
sebelumnya, jika masyarakat tidak berkeberatan dengan budaya pornografi dan
pornoaksi, maka nilai itu akan dianggap sebagai kebenaran. Orang yang menentang
tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga
ketika suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman
keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar. Menurut kaum relativis ini,
tidak ada nilai yang tetap sepanjang zaman dan sembarang tempat. Nilai selalu
berubah. Batasan aurat wanita, misalnya, menurut mereka, tidak ada yang tetap,
tetapi berdasarkan budaya setempat. Apa yang sopan dan tidak sopan, ditentukan
oleh tradisi dan kesepakatan dan konsensus. Tentu saja, konsep semacam ini
sangat berbeda dengan konsep Islam.
Karena
itulah, masuknya kata adil dan adab dalam sila kedua dari
Pancasila semakin memperkuat bahwa Pancasila bukanlah konsep yang netral agama.
Tampak, pandangan-dunia Islam yang dibawa oleh para tokoh perumusnya, terutama
KH Wachid Hasyim (putra KH Hasyim Asy’ari), Haji Agus Salim, Abdul Kahar
Muzakkir, dan Abikusno Tjokrosuyoso, cukup mewarnai rumusan Pancasila, sehingga
sangat tidak keliru jika umat Islam memberi makna adil dan adab
sesuai dengan makna dalam Islam, bukan makna yang netral agama. Sebab, jika
istilah adil dan adab diletakkan dalam bingkai atau perspektif
pandangan-dunia sekular atau netral agama, maka kata itu juga tidak akan
bermakna sesuai dengan makna asalnya. Dengan demikian, adalah tidak fair, tidak
adil dan tidak beradab, jika orang Islam memberi makna adil
dan adab dilepaskan dari pandangan-alam Islam. Bisa dipastikan, sebelum
Islam masuk ke wilayah Nusantara, kedua istilah tersebut tidak dikenal di
wilayah ini. Hingga kini, tidak ditemukan, terjemahan yang tepat dari kata adil
dan adab ke dalam bahasa Jawa, Minang, Sunda, Makasar, dan sebagainya.
------------------------
1
Dikutip dari Usman Syihab, Membangun Peradaban dengan Agama, (Jakarta:
Dian Rakyat, 2010), hal. 77-78.
2
Dikutip dari Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan
Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 240- 241.
6 Lebih jauh, lihat, Conferences of Riyad, Paris,
Catican City, Geneva, and Strsbourg, on Muslem Doctrine and Human Right in
Islam, (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1972), hal. 54.
7 Kaelani, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta:
Paradigma, 2010, edisi ke-9), hal. 24-27.
8 Hamka, Tafsir
al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997).
9 Lihat, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau
Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hal. 60. Secara khusus, Prof.
Naquib al-Attas mengingatkan: “Many major key terms in the Islamic basic
vocabulary of the languages of Muslim peoples have now been displaced and made
to serve absurdly in alien fields of meaning. This modern cultural phenomenon
is what is causing the confusion of the Muslim mind. It is a kind of regression
towards non-Islamic worldviews; it is what I call the de-islamization of
language.” ( S.M. Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam,
p.11)
10 K.H. M.
Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam (terj.), (Yogyakarta: Titian
Wacana, 2007).