Ahad, 29
Jumadil Tsaniyah 1436H / April 19, 2015
PANJIMAS.COM
– Jauh sebelum orang-orang ramai meributkan ketidakberesan pemikiran ulama
Metro TV Prof. Dr. Quraish Shihab di kalangan liberal di Indonesia, Sudah jamak
diketahui beliau sebagai seorang yang bermasalah.
Jilbab
tidak wajib danTak ada jaminan Rasulullah SAW masuk surga Hanyalah dua hal
kontroversi beliau yang mengemuka ke publik. Dan terakhir adalah kajian tafsir
di Metro TV membolehkan “ucapan selamat natal”.
Beliau
pernah menulis buku, “Sunnah -Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” Buku ini
diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.Di antara yang
ditegaskan QS di buku ini bahwa perbedaan sunni dan syi’ah bukan pada ushul. QS
juga menyanggah keberadaan Abdullah bin Saba’. Beliau menyebut Abdullah bin
Saba’ sebagai tokoh fiktif. Dalam buku ini QS juga ingin mendegradasi posisi
Abu Hurairah RA sebagai sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan
hadis.
Menanggapi
buku tersebut, teman-teman santri Pondok Pesantren Sidogiri menulis buku
bantahan, “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” Semua pembelaan
Quraish Shihab terhadap Syiah telah dimentahkan santri-santri Sidogiri di buku
ini.
Dari Jakarta, QS mengirim pesan
ketidaksukaannya terhadap buku yang telah membantah bukunya. Santri (pelajar)
gitu loh, membantah bukunya profesor. Dari pelosok Pasuruan, teman-teman
Sidogiri pun merespon, “Kalau memang sanggahan kami ada yang perlu disanggah
balik, silakan saja. Atau mari kita ketemu, kita duduk dalam satu majelis, kita
bedah bareng buku kita masing-masing!”
Namun
ajakan para santri ini sampai sekarang belum dipenuhi oleh Sang Profesor. Pada
Haul Habib Muhanmas bin Salim al Aththas di Masjid Baalawi, Singapura, Quraish
Shihab pernah berceramah. Dalam ceramahnya, beliau mengkritisi kitab maulid,
Diba’. Tepatnya pada bait: “Mauliduhu bi Makkah, wa hijratuhu bil Madinah wa
shulthonuhu bis-Syam.”
Salah
seorang yang hadir ketika itu adalah Habib Umar bin Muhsin Al Aththas, Lawang.
Habib Umar sebenarnya bermaksud mendebat QS. Namun Habib Hasan Al Aththas
sebagai tuan rumah mencegah beliau.
Berikut
Pengakuan Dr Adian Husaini Terhadap Buku Pesantren Sidogiri
Di
tengah malasnya tradisi ilmiah, buku terbitan Pesantren Sidogiri tentang
“ukhuwah” Sunni-Syiah patut diacungi jempol.Belum lama ini saya menerima
kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa
Timur. Judulnya cukup panjang: “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban
atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”
Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri,
yang dipimpin seorang anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.
Membaca
buku ini halaman demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa,
dari sebuah pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah
buku ilmiah yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku
karya Prof. Dr. Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren
Sidogiri ini terbilang cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada
September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret
2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita
patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut.
Salah
satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah
adalah dua mazhab yang berbeda. “Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua
mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan
sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah
perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul
(prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan
II, hal. 265).
Berbeda
dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren
Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren
Sidogiri yang menegaskan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai
hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu,
kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi
dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung
pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Berikut
ini kita kutip sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab
(selanjutnya Quraish Shihab disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri
disingkat “PPS”). Kutipan dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka
masing-masing.
1.
Tentang Abdullah bin Saba‘.
QS: “Ia
adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’)
adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan
kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu
dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS:
Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’.
Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui
kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3,
misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang
dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal.
20), al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan
ide untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para
sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang
Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan
al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah
bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar
keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw
sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah
Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn
Khaldun. (hal. 44-46).
2.
Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS:
“Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan
seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian
menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping
itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah,
demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah
kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal.
160).
QS:
“Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah
tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak
meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah,
padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal.
150).
PPS:
“Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits
sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan
pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan
bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan
pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu
Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan
rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah
tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah
al-Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin
Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i
Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad
?Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam
Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan
sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama.
Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki
hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal.
320-322).
Karena
kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan
demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah
tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits
demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian
terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu,
harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin
besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima
riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan
seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya
muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama
sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang
keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan
penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan
sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak,
ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala Sunnah
Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a.
Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran
Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang
banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan
penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah
jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan
dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya,
maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal
1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang
tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu
Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang
dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif
al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah
masa kini), yang juga dikutip oleh QS: “Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi
saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub,
Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak
memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga
menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan
hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka
belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab
Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang
tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan,
terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada
Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau
membenci mereka. (hal. 324-330).
3.
Tentang pengkafiran Ahlusunnah:
QS: “Apa
yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di
Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang
shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab
Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka
menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat
mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
PPS:
“Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang
sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap
Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak
seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada
fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab
hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya,
Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan
keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan,
bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni
tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika,
tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il
Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang
berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian
hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah
menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang
dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah)
seringkali shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah
dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka
mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak
sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan
PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa
yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS
juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan
umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata
dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi
zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku
terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik
klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip
pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ?ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah
mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan
tidak akan mengambil hokum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti
Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Terlepas
dari fakta tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini
telah menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan
khazanah keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun
1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya
kini lebih dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga
pernah diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara
I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas
RI.
Dalam
Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering
mendapat kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia
dan Amerika Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan
sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah
dari Australia dan Amerika.
PPS juga
termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan
penyebaran paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: “Tahun ini,
PPS menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran
Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara
khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan oleh
Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah
yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme,
pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham
destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan
wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kita
berdoa, mudah-mudahan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi
dari PPS. Begitu juga dari berbagai pesantren lainnya.
JUDUL
BUKU: MUNGKINKAH SUNAH SYIAH DALAM UKHUWAH?
Tak ada
maksud lain dari kehadiran buku ini, selain sebagai upaya mendudukkan dua faham
yang memang berbeda ini (Sunni-Syiah) secara proporsional. Menegaskan
perbedaan, tidak berarti menutup ruang untuk saling menghormati dan
bertoleransi. Justru adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul
dari ranah yang memang berhadap-hadapan secara diametral.
Ajakan untuk menjalin ukhuwah adalah baik, namun jika harus mengorbankan
akidah, maka itu akan menjadi musibah. Mari kita bangun ukhuwah, dengan tanpa
mengormankan akidah. [AW/NU Garis Lurus]