GADAI DAN SEWA (1)


GADAI (1), oleh Abu Fahmi
ANTARA GADAI DAN SEWA MENYEWA ;
 HUKUM DAN IMPLEMENTASINYA

Dalam sejumnlah ayat al Qur’an, dapat kita temukan penjelasan bahwa adanya istilah GADAI tidak lepas dari kejadian (transaksi) sebelumnya yaitu “HUTANG-PIUTANG”.
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menggadaikan barangnya kecuali didahului oleh persoalan hutang piutang.
وإن كنتم على سفر ولم تجدوا كاتبا فرهان مقبوضة، فأمن بعضكم بعضا فاليؤد الذي اؤتمن أمانته واليتق الله ربه
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
[1] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai
Para `ulama sepakat menyebutkan bahwa “Hukum gadai erat hubungannya dengan hutang –piutang, dasarnya adalah ayat di atas (QS 2: 283), di atas. Ayat ini menyuratkan kepada kita bahwa dalam hutang piutang itu haruslah ada “penulis yang mencatatkan hutangnya” berikut saksinya. Hal ini ketika safat atau dalam keadaan muqim di satu negeri atau wilayah. Namun jika sulit mendapatkan petugas pencatat, karenaa safar atau bukan, maka boleh dengan memberikan barang jaminan, sehingga akadnya disebut dengan akad “GADAI”. Gadai tidak sama dengan akad sewa. Sebab akad gadai sebagai transaksi ta`awun untuk ladang akhirat, sementara akad sewa sebagai ladang dunia semata. Kedua halal untuk dilakukan selama memenuhi kreteria syariat. Namun secara tersirat, dapat membedakan tentang sifat-sifat pelakunya. Apakah dermawan apakah kikir …..
Gadaii sebagai alat bukti hutang piutang, menguatkan kepercayaan antara kedua pihak, sampai timbul “tsiqatul mutabadilah” (kepercayaan timbale balik). Agar yang memberi pinjaman yakin akan utuhnya uang yang dipinjamkan kepada orang lain yang membutuh kannya, untuk jangka waktu tertentu, walau tampa adanya tambahan (sebab tambahan dalam pinjamang uang adalah RIBA). Ia yakin bahwa uangnya tak akan musnah atau hilang atau berkurang, karena ada barang jaminan padanya, baik barangnya ataupun surat-surat nya (kalau tanah SHM nya, kalau motor atau mobil bisa BPKB nya….).
Barang gadai tetap milik yang diberi utang, dan boleh memanfaatkan agar memperoleh hasilnya. Sedang bagi yang meminjamkan uangnya (tunai) kepada si peminjam (dg jaminan gadai), tak dapat menggunakan barang jaminan untuk mendapatkan tambahan atau manfaat keuntungan. Kalau barang gadai itu binatang, missal kerbau atau kuda atau sapi, maka jika yang meminjamkan uang ingin menungganginya boleh saja, asal membayar (member) makan binatang tersebut, atau jika motor ya harus membayar bensinnya. Jika berupa sawah atau tanah lading, maka tidak boleh digarap oleh pemberi pinjaman, sebab tanah tetap milik si pemimjam, dan ia bebas menggarap dan mengolahnya untuk memperoleh hasil (bekal kehidupan).
Bagi para pelaku RIBA atau RENTENIR, menganggap Islam ini tidak adil, karena orang sudah meminjamkan uang besar selama sekian tahun tetapi tak boleh mendapat untung atau tambahan (sebagai syarat akadnya). Padahal (menurutnya) uang sekian juta kalau di putar selama 1 atau 2 tahun atau lebih pastilah akan tumbuh berkembang, bisa sampai 1,5 nya atau2 x nya. Perlu diingat, bahwa dagang atau bisnis tidak selalu ada untung, bahkan bisa juga rugi. Namun bagaimana jika merugi ? bukankah uang itu hilang sebagian atau seluruhnya ? lalu siapa yang menanggung. Rentenir atau Pelaku Riba, kalau meminjam kan uang harus disertai bunga tambahan, tergantung lamanya, ia hitung dengan inflasi. Begitu pula kalau bisnis dengan orang lain, uang yang dipinjamkan itu bukan sebagai akad MUDLARABAH atau MUSYARAKAH, tetapi dengan dasar ribawi, dengan menentukan bunga sekian dan sekian terhadap modal yang disertakan, bukan BAGI HASIL, yang bisa saja untung atau bisa saja rugi. Dalam MUDLARABAH, pelaku bisnis yang rugi (bukan dibuat-buat) padahal telah berusaha dengan tenaganya, waktunya dan seluruh potensinya, maka kerugiannya ditanggung oleh PEMILIKM MODAL, sebab pelaku bisnis telah rugi waktu, tenaga, dan pikiran serta potensi lainnya.
Di dalam ayat 284 al Baqarah di atas, Allah berbicara pinjam meminjam, gadai, dan penulis hutang. Ketika safar  dirasakan sulit mendapatkan tukang tulis hutang-piutang, apalagi jika timbul krisis kepercayaan antara yang hutang dan yang mengutanginya, maka gadai menjadi sangat penting.
Barang gadai sebagai alat bukti semata dalam akad hutang-piutang,asa aman bagi kedua belah pihak. Walau ayat ini menunjukkan adanya gadai ketika dalam safar, namun Nabi saw ketika di Madinah (tidak dalam keadaan safar) telah malakukan transaksi hutang piutang dengan seorang Yahudi, dimana beliau menggadaikan perisai kepada Yahudi, untuk mendapatkan pinjaman yang beliua butuhkan, untuk lama waktu tertentu. Sehingga kalau pada saat pelunasannya Nabi tak mampu, maka perisai bisa dijual oleh Yahudi sebagai pembayaran. Jika tak mencukupi maka Nabi harus menamabahnya, dan jika harga perisai melebihi jumlah utangnya, maka Nabi mendapatkan kembalian dari sisanya.
Sekali lagi, bahwa barang Gadai hanya sekedar alat bukti, untuk meyakinkan kepada pemberi hutang, kalau-kalau pada waktunya yang hutang tidak mampu melunasinya, maka barang gadai dapat dijual untuk melunasi hutang. Yang menghutangi merasa aman, tak akan melayang uang yang dipinjamnya. Barang Gadai juga bukan wafa’ (alat melunasi), hanya sebagai bukti dan sarana untuk cadangan melunasi hutang.
Contoh sederhana:
Pak Ahmad punya tanah sepetak, misal 1 Ha, membutuhkan modal tunai untuk menutupi kebutuhan primernya atau modal menggarap tanahnya, Lalu ia datang kepada pak Umar, menyampaikan maksudnya untuk pinjam uang, 5 juta misalnya, dan ia jaminkan tanahnya untuk membayarnya nanti jika tak mampu mengembalikan pinjamannya setelah tiba waktunya.
Pak Umar (yang baik hati lagi dermawan) dengan tulus menyambut maksud dari pak Ahmad, memberi pinjaman uang tersebut dalam rangka “Ta`awun `alal birri wat taqwa”, sebagai ladang bisnis akhirat dengan Allah, tanpa meminta tambahan atau imbalan sama sekali.
Dalam akad pinjam-meminjam ini keduanya sama-sama telah memahami akadnya, bahwa tanah tetap milik pak Ahmad, tidak pindah tangan (kepemilikannya), ia tetap berhak menggarap/mengolahnya atau memanfaatkannya guna mencari ma`isyah (bekal kehidupan, rezeki) dengan tanahnya, sementara pak Umar tak punya hak untuk menggarap atau memungut dari hasil tanah. Jika menghasilkan maka  hasilnya milik pak Ahmad, dan jika ada musibah sehingga rugi menimpa tanahnya, (missal tanamannya terkena lahar, kena hama wereng, ulat bulu, angin topan dll,  maka kerugiannya bagi pak ahmad juga. Sementara pak Umar tak menanggungnya. Barang gadai hanya sekedar jaminan, bukan sebagai barang yang disewakan atau dijual. Barang gadai tidak boleh dimanfaatkan oleh pemberi hutang. Jika dimanfaatkannya, maka terkena hukum riba, karena mendapat keuntungan dari piutang yang dihutangkannya, kecuali jika dalam memanfaatkannya ia membayar apa yang gunakan. Misal jika gadainya berupa kuda, maka kalau ia mau menungganginya ia harus memberi makan atau membayarnya.  
Zaman sekarang barang gadai, karena tetap milik pihak peminjam, sementara pemberi pinjaman tidak boleh memanfaatkannya, maka lebih mudah untuk zaman sekarang. Kalau motor atau selainnya menjadi barang gadai, maka bisa memberi BPKBnya saja, kalau rumah/tanah maka bisa dengan SHM nya, jadi tak perlu barangnya, dipegang oleh pemberi pinjaman sampai waktunya yang ditentukan kedua pihak.
Adilkah Islam jika demikian ? mengapa uang 5 juta atau lebih mandeg gara-gara dipinjamkan kepada yang lainnya, padahal jika diputar dalam tempo 1 tahun, misal bisa mendapatkan “tambahan” keuntungan (missal 1 juta) atau bahkan bisa 2 x lipat. Sementara kalau dipinjamkan dg jaminan barang gadai…. Saya tak mendapat apa-apa ? Padahal uang saya mandeg sekian tahun lamanya (sesuai kesepakatan).
Hal ini perlu penjelasan sebagai berikut:
Kita harus membedakan antara akad tolong menolong dan sewa menyewa atau jual beli.
وابتغ فيما آتاك الله الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا.

Ada Dua jenis transaksi : yang berkaitan dengan ladang dunia semata, seperti jual beli, sewa menyewa, atau menggarap tanah, dsj.
Ada pula transaksi yang berkaitan dengan ladang akhirat yaitu akad tolong menolong, tidak boleh ada keuntungan atau tambahan, seperti ber-shadaqah dan mengeluarkan zakat, pinjam meminjam, qardlul hasan,  tidak boleh ada pungutan atau imbalan (materi atau non materi), bahkan mengharapkan dapat ucapan terima kasih pun tidak diharapkan. Terlebih lagi  mengirinya dengan kata-kata tidak enak, menyakiti atau sejenisnya jelas tak boleh.
Begitu pula akad hutang-piutang, adalah ladang akhirat untuk ta`awun.  Ladang akhirat jangan dirubah menjadi ladang dunia, sebab Allah akan murka. Seperti tambahan atau sanjungan atau sejenisnya berupa pamrih La`allaka Jawwad (semoga anda sebagai orang dermawan) ketika berderma atau bersedekah atau berinfaq di jalan Allah, baik untuk si fakir, si miskin, atau anak yatim atau manula-jompo atau mustadl`afin ……
Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa melapangkan atau membantu kesulitan orang lain, maka Allah akan melapangkan baginya di akhirat”. Dan Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba itu menolong sesamanya”.
Apa ruginya bagi orang yang shadaqah tidak boleh memperoleh imbalan ? (termasuk sanjungan ?). Allah akan murka jika kalian mengubah transaksi ladang sosial ta`awun `alal khair, diubah menjadi ladang dunia seperti  jual beli atau sewa menyewa.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُخْتَارِ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ رَاشِدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Humaid berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mukhtar dari Ishaq bin Rasyid dari Az Zuhri dari Sa'id bin Musayyab dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Gadai tidak bisa dimiliki. "  Ibnu Majah 2432

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ زَكَرِيَّا عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَبَنُ الدَّرِّ يُحْلَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَالظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَحْلِبُ النَّفَقَةُ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ عِنْدَنَا صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami Hannad dari Ibnu Al Mubarak dari Zakaria dari Asy Sya'bi dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika digadaikan maka susu hewan boleh diperah sesuai dengan nafkah yang diberikan kepada hewan tersebut, dan punggung hewan boleh dinaiki. Orang yang menaiki dan memerah wajib memberikan nafkahnya. " Abu Daud berkata, "Menurut kami hadits ini lebih shahih. "  sunan abi Daud, 3059
Pinjaman itu sebagai tolong menolong dan akadnya sebagai amal social ladang akhirat, untuk mendapat kan manfaat lillahi Ta`ala saja.
Seorang mukmin seharusnya, kalau tak sempat atau tak sanggup memberi shadaqah kepada orang lain – kepada tanggungannya ataupun pihak lain- maka minimal bersedia memberi pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan tanpa mengharap imbalan atau tambahan. Sebab ia lebih merindukan pahala akhirat ketimbang imbalan dunia yang sesaat.
Yang lebih parah lagi adalah, jika memberi pinjaman saja tak bersedia, apalagi shadaqah, maka ini cerminan sikap bakhil atau kikir. Kaum rentenir atau pelaku riba, pastilah termasuk orang bakhil lagi kikir. Pelaku ribawi dan rentenir tidak ada yang tergolong dalam kelompok dermawan, karena mereka tak membutuhkan surga, namun lebih membutuhkan dunia saja. Ia lebih memilih akad sewa ketimbang pinjaman, sebab dengan sewa maka si penyewa dapat memanfaatkan barang yang disewanya, dan pemilik barang sewaan mendapat hasil sewa ketika itu.
Waspadalah dengan Riba, ancaman Allah bagi pelakunya sangatlah berat. Riba sekalipun banyak berlimpah, mudah diperoleh dan cepat hasilnya serta pasti, namun kelak – lambat atau cepat - akan hancur, dan Allah akan musnahkan. Nasib yang sama juga bagi rentenir.. tinggal waktunya saja, pasti akan dating, sebab janji Allah pastilah terjadi. Simak sekali lagi firman Allah dalam QS al Baqarah: 275-279. Ini sekaligus ancaman bagi orang yang menganggap sama antara transaksi jual-beli dengan transaksi ribawi.
Hukum memungut keuntungan termasuk memanfaatkan barang gadai adalah Haram, begitu pendapat kuat dari madzhab Syafii. Dosa besar pelaku riba atau rentenir lebih besar dari dosa berzina, mencuri, atau korupsi, atau  …….. bahkan dosa riba yang paling ringan adalah sama dengan berzina dengan ibu kandungannya sendiri. Sementara kata Nabi bahwa jenis riba dan tingakatan dosanya ada 63 jenis, dan dosa yang paling ringan adalah seperti dosa menzinahi ibu kandungnya sendiri. Na`udzu billah min  dzalik.
Allah telah menabuh genderang perang terhadap rentenir dan pemakan riba & pelaku-pelakunya serta pendukung-pendukungnya.
Hati-hati dalam barang gadai, …… anda bisa masuk ke riba, jika menganggap  boleh memanfaatkan barang gadai semaunya, ….
Pembeda antara Dermawan dan Bakhil / Kikir :
Kasus Maman dan Amin, si pemilik tanah 1 ha yang perlu dana segar karena terdesak oleh kebutuhan primernya termasuk modal menggarap tanahnya, sementara si Amin adalah seorang kaya raya lagi berkecukupan.
Maman menawarkan 2 alternative kepada Amin:
1.    Untuk menyewakan tanahnya, setahun, dua tahun atau lebih
2.    Atau mengajukan pinjaman berupa uang tunai dari pak Amin dengan jaminan tanahnya (sertifakatnya) tersebut. Jika telah melunasinya, maka tanah kembali kepadannya dan jika pada waktunya belum bisa membayarnya maka tanah bisa dijual untuk membayarnya. Jika ada kelebihan, maka lebihnya kembali ke pada Maman, dan jika kurang, maka Maman harus menambahnya lagi. Dalam hal ini Amin tidak berhak memanfaatkan tanahnya, sementara pak Maman bebas menggarap tanahnya untuk berladang agar menghasilkan. Dan hasilnya murni untuk Maman bukan untuk Amin (tak punya hak memanfaatkan atau mendapat tambahan dari garaoan tanah pak Maman tadi).
Yang pertama adalah lading dunia, hasilnya diperoleh di dunia berupa hasil sewaan. Jika Amin memilih opsi (1), maka ia termasuk orang pelit, kikir dan bakhil. Secara hukum sah, mendapat hasil dunia, dan di akhirat tidak.
Sedang opsi (2) adalah tolong menolong, manfaat akhirat, di dunia tak mendapat tambahan, sebab tanah hanya sekedar jaminan, bukan pindah kepemilikannya.


0 komentar:

Mari berdiskusi...

--------------------------------------------------------------------

Awali dengan bismillah sebelum memberi komentar...

--------------------------------------------------------------------