Senin, 25 April 2011

ETIKA PENGHAFAL QUR'AN


ETIKA PENGHAFAL AL QUR’AN
(Pesan Lajnah Untuk Guru-Guru BTAQ-Tahfizh al Qur’an)

Para penghapal Al Quran mempunyai etika-etika yang harus diperhatikannya.
Dan mereka mempunyai tugas yagn harus dijalankan, sehingga mereka benar-benar menjadi “keluarga Al Quran”(Ahlul Qur’an), seperti sabda Rasulullah SAW tentang mereka:
“Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Beliau ditanya: siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Ahli Al Quran, mereka adalah keluarga Allah Saw dan orang-orang dekat-Nya
Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan An Nasai dalam “ Al Kubra” serta Ibnu Majah (215), al Hakim
(1/556. Lihat: Sahih al Jami` ash Shagir (2165).

(1). Selalu Bersama Al Quran.
Di antara etika itu adalah: selalu bersama Al Quran, sehingga Al Quran tidak hilang dari ingatannya. Yaitu dengan terus membacanya dari hapalannya, atau dengan membaca mushaf, atau juga dengan mendengarkan pembaca yang bagus, dari radio atau kaset rekaman para qari yang terkenal. Berkat ni`mat Allah SWT, di beberapa Negara Islam terdapat siaran Al Quran al Karim, yang memberikan perhatian pada pembacaan Al Quran, tajwidnya serta tafsirnya.
Dari Ibnu Umar r.a.: bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Perumpamaan orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang terikat, jika ia terus menjaga nya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia lepaskan maka ia akan segera hilang.” Hadits diriwayaktan oleh Bukhari dan Muslim. Dan Muslim menambah dalam riwayatnya:
“Jika ia menjaganya, dan membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingat nya, sedangkan jika tidak, maka ia akan melupakannya”  Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (452). Juga Al Muntaqa min at Targhib wa at Tarhib, dan hadits (794).

Makna “al mu`aqqalah” adalah: terikat dengan tambang, yaitu tambang yang dipegang karena takut terlepas. Dan pluralnya adalah `uqul.
Dari Abdullah bin Mas`ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Amat buruk orang yang berkata: “Aku telah melupakan hapalan ayat ini dan ayat itu, namun sebenarnya ia dilupakan. Terus ulang-ulanglah hapalan Al Quran, karena ia lebih cepat pergi dari dada manusia, dari perginya unta dari ikatannya”, Lihat: Al Lu’lu wa al Marjaan (453), juga al Muntaqa. Hadits (795).

Makna kata “nussia“ adalah: Allah SWT yang membuatnya lupa, sebagai hukuman terhadap kesalahan yang ia lakukan.
Dari Abi Musa al Asy`ari r.a. dari Nabi Saw bersabda:
“ Teruslah jaga hapalan Al Quran, karena Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, ia lebih cepat lepas dari lepasnya unta dari ikatannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan riwayat Bukhari dengan kata “asyaddu tafashshian” .  Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (454).

Penghapal Al Quran harus menjadikan Al Quran sebagai temannya dalam kesendiriannya, serta penghiburnya dalam kegelisahannya, sehingga ia tidak berkurang dari hapalannya. Qasim bin Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada sebagian kaum sufi: tidak ada seorangpun yang menjadi teman kesepianmu di sini? Ia mengulurkan tangannya ke mushaf, dan meletakkannya di atas batu dan berkata: inilah temah kesepianku!
As Suyuthi berbicara tentang hukum melupakan Al Quran, ia berkata: melupakan hapalan Al Quran adalah dosa besar, seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab “Ar Raudhah” dan ulama lainnya. Dengan dalil hadits Abi Daud:
“Dosa-dosa umatku diperlihatkan kepadaku, dan aku tidak dapati dosa yang lebih besar dari dosa seseorang yang diberi ni`mat hapal Al Quran atau suatu ayat, kemudian ia melupakannya” . Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud (461).

Dan ia meriwayatkan pula hadits:
“Siapa yang membaca (hapal) Al Quran namun kemudian melupakannya, maka ia akan bertemu Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan terserang penyakit sopak” . Hadits diriwayatkan oleh oleh Abu Daud dalam Ash Shalat (1744), dengan lafazh yang sama: bab At Tasydid fi man Hafazha al Quran tsumma nasiahu.

Demikian pula hadits Ibnu Mas`ud dan Abi Musa sebelumnya.
Sedangkan hadits Abi Daud yang pertama, diriwayatkan oleh Tirmizi, dan ia berkata: hadits itu gharib (atau dha`if). Dan ketika Imam Bukhari ditunjukkan hadits itu, ia tidak mengetahuinya dan melihatnya hadits yang gharib. At Tirmizi mengutip dari Al Bukhari: bahwa Al Muthallib bin Abdullah bin Hanthab –perawi hadits—tidak mendengar langsung dari seorang sahabatpun. Dan seterusnya. Lihat: hadits non (2917), dalam Tirmizi, dan hadits no. (461) dalam Abi Daud. Ibnu Jauzi menyebutnya dalam Al `Ilal al Mutanahiah, dengan no. (158). Dikutip dari Ad Daruquthni: bahwa hadits itu tidak tsabit (tidak kuat) karena Ibnu Juraij
tidak mendengar sesuatupun dari Al Muthallib (juz 1/109). Al Munziri juga mengatakan bahwa dalam
sanadnya ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Ruwad, yang dinilai kuat oleh Yahya bin Ma`in serta
diperselisihkan oleh banyak orang. Mukhtashar as Sunan. Hadits 433 (1/259).

Sedangkan hadits kedua dikomentari oleh Al Munziri: dalam sanadnya adalah Yazid bin Abi Ziyad, ia tidak dapat dijadikan hujjah, dan ia juga munqathi`.  Mukhtashar as Sunan. Hadits 1422 (juz 2/139).

Jika hadits-hadits yang dijadikan landasan orang yang mengatakan bahwa melupakan Al Quran adalah dosa besar, telah jelas kelemahannya, maka yang tersisa adalah celaan terhadap tindakan melupakan Al Quran itu. Karena sang penghapal itu jarang mengulangnya, namun tidak sampai kepada keharaman, apalagi menjadi dosa besar.
Namun yang paling kuat adalah, ia merupakan perkara yang makruh dengan sangat. Dan tidak pantas bagi seorang Muslim yang memiliki perbendaharaan hapalan Al Quran yang amat berharga ini menyia-nyiakannya, hingga hilang darinya.
Yang membuat kami mengatakan hal ini adalah: kami takut (ancaman dosa besar) ini membuat orang enggan menghapal Al Quran, karena ia mempunyai kemungkinan melupakan hapalannya itu, dan akibatnya ia mendapatkan dosa besar, sementara jika ia tidak menghapalnya sama sekali, ia tidak terancam mendapatkan dosa sedikitpun.

(2). Berakhlaq dengan Akhlaq Al Quran.
Orang yang menghapal Al Quran hendaklah berakhlak dengan akhlak Al Quran.
Seperti Nabi Muhammad Saw. Aisyah r.a. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, ia menjawab:
“Akhlak Nabi Saw adalah Al Quran”.Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Shalat al Musafirin (746).

Penghapal Al Quran harus menjadi kaca yang padanya orang dapat melihat aqidah Al Quran, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya, dan agar ia membaca Al Quran dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya, bukannya ia membaca Al Quran namun ayat-ayat Al Quran melaknatnya.
Dari Abdullah bin Amru bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang membaca (menghapal) Al Quran, berarti ia telah memasukkan kenabian dalam dirinya, hanya saja Al Quran tidak diwahyukan langsung kepadanya. Tidak sepantasnya seorang penghapal Al Quran ikut maraj bersama orang yang marah, dan ikut bodoh bersama orang yang bodoh, sementara dalam dirinya ada hapalan Al Quran “  Hadits diriwayatkan oleh al Hakim dan ia menilai sahih sanadnya, dan itu disetujui oleh Adz Dzahabi (1/552).

Makna kata “yajidu” adalah dari al wajd atau al wijdan, yang berarti: amat marah atau amat sedih. Dengan pengertian ia dikuasai oleh perasaannya, dan hal itu mempengaruhi perilakunya.
Ibnu Mas`ud r.a. berkata: penghapal Al Quran harus dikenal dengan malamnya saat manusia tidur, dan dengan siangnya saat manusia sedang tertawa, dengan diamnya saat manusia berbicara, dan dengan khusyu`nya saat manusia gelisah. Penghapal Al Quran harus tenang dan lembut, tidak keras, tidak sombong, tidak bersuara kasar atau berisik dan tidak cepat marah.
Ibnu Mas`ud r.a. seakan sedang berbicara kepada dirinya sendir, karena ia adalah salah seorang imam penghapal Al Quran, dan ia menjadi orang yang betul-betul sesuai dengan prediket penghapal Al Quran.
Ibnu Mas`ud juga mengecam orang-orang yang: Al Quran diturunkan kepada mereka agar mereka mengamalkan isinya, namun ia hanya menjadikan kegiatan mempelajari Al Quran itu sebagai amalnya! Salah seorang dari mereka dapat membaca Al Quran dari awal hingga akhirnya tanpa salah satu huruf-pun, namun ia tidak mengamalkan apa yang terdapat dalam Al Quran itu!
Seorang zahid yang terkenal; Fudhail bin `Iyadh, berkata: pembawa (penghapal) Al Quran adalah pembawa bendera Islam, maka ia tidak boleh bermain-main bersama orang-orang yang senang bermain, tidak lupa diri bersama orang yang lupa diri dan tidak bercanda bersama orang yang bercanda, sebagai bentuk penghormatan terhadap hak Al Ia berkata: seorang penghapal Al Quran harus tidak butuh kepada orang lain, tidak kepada para khalifah, dan tidak pula kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, ia harus menjadi tumpuan kebutuhan orang.
Sebagian salaf berkata: “ada seorang hamba yang saat memulai membaca satu surah Al Quran, maka malaikat akan terus berdoa baginya hingga ia selesai membacanya.
Dan ada orang yang membaca satu surah Al Quran, namun malaikat terus melaknatnya hingga ia selesai membacanya”. Seseorang bertanya kepadanya: “mengapa bisa terjadi seperti itu?”. ia menjawab: “Jika ia menghalalkan apa yang dihalalkan Al Quran dan mengharamkan apa yang diharamkan Al Quran maka malaikat akan berdoa baginya, namun jika sebaliknya maka malaikat akan melaknatnya!”.
Sebagian ulama berkata: ada seseorang yang membaca Al Quran dan ia sedang melaknat dirinya sendiri, dengan tanpa sadar. Ia membaca: “ala la`natullah `ala azh zhaalimiin” (sesungguhnya laknat Allah diberikan kepada orang-orang zalim), sementara ia adalah orang yang zalim! dan membaca “ ala la`natullah ala al mukdzibiin”
(sesunguhnya laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta), sementara ia termasuk golongan yang mendustakan itu!
Inilah makna perkata Anas bin Malik r.a.: Ada orang yang membaca Al Quran, dan Al Quran itu melaknatnya!
Al Hasan berkata: Kalian menjadikan membaca Al Quran sebagai stasion-stasion, dan menjadikan malam sebagai unta (kendaraan), yang kalian kendarai, dan dengannya kalian melewati stasion-stasion itu. sementara orang-orang sebelum kalian jika melihat risalah-risalah dari Rabb mereka, maka mereka segera mentadabburinya pada malam hari, dan melaksanakan isinya pada siang hari!
Maisarah berkata: Yang aneh adalah Al Quran yang terdapat dalam diri orang yang senang melakukan perbuatan dosa!
Keanehan itu terjadi karena Al Quran berada di satu lembah, sementara akhlak penghapal Al Quran itu dan perilakunya berada di lembah lain!
Abu Sulaiman Ad Daarani berkata: Neraka Zabbaniah lebih cepat dimasuki oleh penghapal Al Quran –yang melakukan maksiat kepada Allah SWT—dibandingkan penyembah berhala, saat mereka melakukan maksiat kepada Allah SWT setelah membaca Al Quran!
Sebagian ulama berkata: Jika serang anak Adam membaca Al Quran kemudian ia berlaku buruk, setelah itu ia kembali membaca Al Quran, Dia berkata kepada orang itu:
“Apa hakmu membaca firman-Ku, sementara engkau berpaling dari-Ku?!”.
Ibnu Rimah berkata: Aku menyesal telah menghapal Al Quran, karena aku mendengar bahwa orang-orang yang menghapal Al Quran akan ditanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan sama yang diajukan kepada para Nabi pada hari kiamat! . Atsar ini disebut oleh Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin..
Tidakaneh jika para penghapal Al Quran dari kalangan sahabat adalah mereka yang berada di barisan pertama saat shalat di Masjid, yang berada di garis terdepan saat jihad, dan orang yang pertama melakukan kebaikan di tengah masyarakat.
Dalam sebagian peperangan perluasan wilayah Islam, ada orang yang berteriak:
wahai para penghapal surah Al Baqarah, hari ini sihir tidak telah lenyap! Seperti terjadi pada perang Yamamah yang terkenal dan dalam perang melawan kelompok murtad.
Huzaifah berkata pada hari yang menegangkan itu: wahai para penghapal Al Quran, hiasilah Al Quran dengan amal perbuatan kalian.
Pada hari Yamamah (peperangan melawan gerakan riddah) Salim maula Abi Huzaifah, saat ia membawa bendera pasukan Islam, ditanya oleh kaum Muhajirin:
“Apakah engkau tidak takut jika kami berjalan di belakangmu?” Ia menjawab: “Sepaling jelek penghapal adalah aku, jika aku sampai berjalan di belakang kalian dalam perang ini!”  

Dalam peperangan Yamamah, saat memerangi Musailimah al Kazzab, sejumlah besar penghapal Al Quran mendapatkan mati syahid, karena mereka selalu berada di barisan terdepan. Hingga ada yang mengatakan: mereka berjumlah tujuh ratus orang.
Inilah yang mendorong dilakukannya pembukuan Al Quran, karena ditakutkan para penghapal Al Quran habis dalam medan jihad.
Cara menghapal mereka membantu mereka untuk melaksanakan isi Al Quran itu.
Perhatian mereka tidak hanya untuk menghapal kalimat-kalimat dalam Al Quran itu saja.
Namun yang mereka perhatikan adalah memahami makna dan mengikutinya, baik dalam
bagian perintah maupun larangan.
Imam Abu Amru Ad Dani menulis dalam kitabnya “Al Bayan” dengan sanadnya dari Utsman dan Ibnu Mas`ud serta Ubay r.a.: Rasulullah SAW membacakan kepada mereka sepuluh ayat, dan mereka tidak meninggalkan ayat itu untuk menghapal sepuluh ayat selanjutnya, hingga mereka telah belajar untuk menjalankan apa yang yang terdapat dalam sepuluh ayat itu. Mereka berkata: kami mempelajari Al Quran dan beramal dengannya sekaligus.
Abdurrazzaq meriwayatkan dalam Mushannafnya dari Abdurrahman As Sulami, ia berkata: Kami, jika mempelajari sepuluh ayat Al Quran, tidak akan mempelajari sepuluh ayat selanjutnya, hingga kami mengetahui halal dan haramnya, serta perintah dan larangannya (terlebih dahulu).  Lihat: Al Mushannaf-al Atsar (6027) ia terdapat dalam Musnad Ahmad dai As Sulami: kami diceritakan oleh orang yang meriwayatkan hadits kepada kami dari kalangan sahabat Rasulullah Saw: bahwa mereka mengambil dari Rasulullah Saw sepuluh ayat Al Quran, dan tidak mengambil sepuluh ayat yang lain, hingga mengetahui ilmu dan amal yang terkandung dalam sepuluh ayat itu. ia berkata: maka Rasulullah Saw mengajarkan kami ilmu dan amal sekaligus. Al Haitsami berkata: di dalam riwayat itu ada Atha bin Saib, ia hapalannya telah bercampur dan kacau (1:65).
Dalam kitab Muwath-tha Malik ia mengatakan: disampaikan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar mempelajari surah Al Baqarah selama delapan tahun. Lihat Al Bidayah wa Nihayah, karyat Ibnu Katsir juz 6/324. Cet. Beirut.

Hal itu terjadi karena ia mempelajarinya untuk kemudian mengamalkan kandungannya, ia memerintahkan dengan perintahnya, dan melarang dari laranganlarangannya, dan berhenti pada batas-batas yang diberikan oleh Allah SWT .
Oleh karena itu Ibnu Mas`ud berkata: Kami merasa kesulitan menghapal Al Quran, namun kami mudah menjalankan isinya. Sedangkan orang setelah kami merasakan mudah menghapal kalimat-kalimat Al Quran, namun mereka kesulitan untuk menjalankan isinya.
Dari Ibnu Umar ia berkata: Orang yang mulia dari sahabat Rasulullah SAW dari generasi pertama umat ini, hanya menghapal satu surah dan sejenisnya, namun mereka diberikan rezki untuk beramal sesuai dengan Al Quran. Sementara generasi akhir dari umat ini, mereka membaca Al Quran, dari anak kecil hingga orang buta, namun mereka tidak diberikan rezki untuk mengamalkan isinya!
Mu`adz bin Jabal berkata: “Pelajarilah apa yang kalian hendaki untuk diketahui, namun Allah SWT tidak akan memberikan pahala kepada kalian hingga kalian beramal!” . Seluruh atsar ini disebutkan oleh Al Qurthubi dalam muqaddimah tafsirnya (1/34-35).31.

(3). Ikhlash dalam Mempelajari Al Quran.
Para pengkaji dan penghapal Al Quran harus mengikhlaskan niatnya, dan mencari keridhaan Allah SWT semata, dan semata untuk Allah SWT ia mempelajari dan mengajarkan Al Quran itu, tidak untuk bersikap ria (pamer) di hadapan manusia, juga tidak untuk mencari dunia. Imam Al Qurthubi menulis dalam pembukaan tafsirnya “ Bab Tahzir Ahli Al Quran wa al Ilmi min Ar Riya wa Ghairihi” ia berkata:
Allah SWT berfirman:
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (An
Nisaa: 36). Dan Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhan nya.” (Al Kahfi: 110)
Muslim meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang pertama kali disidangkan pada hari Kiamat ada seorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Aku berperang membela-Mu hingga aku mati syahid. Allah SWT mengomentari: “engkau berdusta, karena engkau berperang hanya untuk dikatakan sebagai si pemberani, dan itu sudah dikatakan orang”. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Kemudian seseorang yang telah mempelajari Al Quran, mengajarkannya dan membaca Al Quran. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan
kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? ia menjawab: Aku mempelajari
Al Quran, dan mengajarkannya kepada manusia, dan aku membaca Al Quran demi-Mu.
Allah SWT mengomentari jawabannya itu: “Engkau berdusta, karena engkau mempelajari Al Quran agar dikatakan orang sebagai orang alim, dan engkau membaca Al Quran agar manusia mengatakan: dia seorang qari. Dan itu sudah dikatakan orang. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang Allah SWT berikan keluasan harta,
dan kepadanya diberikan seluruh macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Setiap aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera menginfakkan hartaku demi-Mu. Allah SWT mengomentari jawabannya itu: “Engkau berdusta, karena engkau melakukan itu semua agar dikatakan sebagai seorang dermawan, dan itu telah dikatakan orang. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret
dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka”.  Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Al Imarah (1905) dan Tirmizi dalam Az Zuhd (2382), ia berkata: hadits ini hasan gharib. Catatan penerjemah: hadits ini juga diriwayatkan oleh An Nasai dalam kitab Al Jihad (3086), dan Ahmad dalam musnadnya (7928).

At Tirmizi meriwayatkan hadits ini: kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku dan bersabda:
“Wahai Abu Hurairah, tiga orang itu adalah makhluk Allah SWT yang pertama yang dibakar oleh api neraka pda hari kiamat.” Ibnu Abdil Barr berkata: hadits iadalah bagi orang yang berniat dengan ilmu dan amalnya bukan karena Allah SWT.
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bahwa beliau bersabda:
“Siapa yang mencari ilmu bukan karena Allah –atau ia bertujuan bukan untuk Allah—maka bersiap-siaplah ia menempati tempatnya di neraka”. Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam muqaddimah sunannya (258), Tirmizi dalam al Ilmu (2657).
Dan ia berkata: hadits ini hasan gharib, keduanya dari Ibnu Umar.

Abu Daud dan Tirmizi meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mempelajari ilmu yang seharusnya semata untuk Allah, namun ia mencarinya untuk mendapatkan dunia, maka ia tidak dapat mencium bau surga pada hari Kiamat”. Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud dalam al Ilmu (3664), Ibnu Majah dalam muqaddimah sunannya
(252). Aku tidak temukan dalam Tirmizi, meskipun al Munziri juga menisbahkannya kepada Tirmizi dalam kitab Mukhtashar Sunan.
Artinya: baunya. Tirmizi berkata: hadits ini hasan.

Tirmizi meriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Berlindunglah kalian kepada Allah SWT dari Jubb al Huzn”. Mereka bertnya: Apa itu Jubb al Huzn wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ia adalah sebuah lembah di dalam neraka, yang neraka sendiri memoh perlindungan kepada Allah SWT darinya seratus kali setiap hari”. Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah Saw, siapa yang memasuki lembah itu? beliau menjawab: “Para pembaca (penghapal Al Quran) yang memamerkan amalamal mereka”. Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi dalam Az Zuhd (2384). Ia berkata tentang hadits ini: hasan gharib, dan oleh Ibnu Majah dalam al Muqaddimah (256).
Ia berkata: hadits ini gharib.

Para penghapal Al Quran dan penuntut ilmu harus bertakwa kepada Allah SWT dalam dirinya, dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya. Sedangkan perbuatan dan niat buruk yang pernah terjadi sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertaubat dan kembali kepada Allah SWT, untuk kemudian memulai dengan keikhlasan dalam menuntut ilmu dan beramal.
`Alqamah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas`ud ia berkata: apa yang akan kalian lakukan jika kalian mendapatkan fitnah yang membuat anak kecil menjadi segera menjadi dewasa dan membuat orang tua menjadi tua renta, dan itu dijadikan “sunnah” (tradisi) yang diikuti oleh manusia, jika hal itu ia merubah sedikit saja hal itu, maka ada yang segera mengatakan: Apakah engkau mau merubah sunnah?! Seseorang bertanya: kapan itu terjadi wahai Aba Abdirrahman? Ia menjawab: hal itu terjadi jika para qurra (pembaca dan penghapal Al Quran) kalian banyak, namun sedikit ulama sejati kalian, para pemimpin kalian banyak, namun sedikit mereka yang jujur dan amanah, engkau mencari dunia dengan amal akhirat, dan mempelajari agama bukan untuk tujuan agama.  Al Munziri berkata dalam At Targhiib: diriwayatkan oleh Abdurrazaq secara mauquf.

Sufyan bin `Uyaynah berkata: Kami mendapat berita bahwa Ibnu Abbas berkata:
kalau para penghapal Al Quran mengambilnya dengan haknya dan apa yang seharusnya, niscaya mereka akan dicintai oleh Allah SWT. Namun mereka mencari dunia dengan Al Quran itu, sehingga Allah SWT marah terhadap mereka, dan merekapun menjadi hina di hadapan manusia.
Diriwayatkan dari Abu Ja`far bin Ali dalam firman Allah SWT:
“Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat.” ( Asy Syu`araa: 94), ia berkata: mereka adalah kaum yang menceritakan kebenaran dan keadilan dengan lidah mereka, namun mereka justru melakukan yang sebaliknya!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar