Senin, 25 April 2011

KEWAJIBAN BAGI PENGHAFAL ALQUR'AN DALAM ILM U DAN IMAN


KEWAJIBAN PENGHAFAL AL QUR’AN SECARA ILMU DAN KEIMANAN:
(Pesan Lajnah Pendidikan untuk para Guru BTAQ dan Tahfizh al Qur’an).

Imam Al Qurthubi berkata dalam “Bab tentang Apa yang Seharusnya Dilakukan oleh Penghapal Al Quran bagi Dirinya, dan Tidak Melalaikannya”.
Yang pertama adalah: agar ikhlas dalam menuntut ilmu seperti telah kami katakana sebelumnya, dan agar membaca Al Quran pada malam dan siang hari, dalam shalat dan di luarnya, hingga ia tidak melupakannya.
Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang diikat, jika ia memperhatikan dan menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia biarkan maka ia segera pergi, Lihat Al Munziri berkata dalam At Targhiib: diriwayatkan oleh Abdurrazaq secara mauquf. Dan jika seorang penghapal Al Quran membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingatnya, dan jika tidak maka ia segera melupakannya “.

Dan ia harus memuji Allah SWT, mensyukuri nikmat-nikmat-Nya, berdzikir kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya, meminta tolong kepada-Nya, bertujuan untuk-Nya, meminta penjagaan kepada-Nya dan mengingat kematian serta mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian itu.
Ia harus mengkhawatirkan dosanya, meminta ampunan kepada Rabb-nya, dan hendaknya perasaan takut dalam keadaan sehat lebih ia rasakan, karena ia tidak tahu kapan akan menemui ajalnya, dan harapan kepada Rabb-nya saat ia menemui ajal hendaknya lebih kuat dalam dirinya, dan berperasangka baik kepada Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak mati seseorang dari kalian, kecuali ia berperasangka baik kepada Allah SWT” . Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Al Jannah wa Shifaatu Na`imiha (2877).

Maksudnya, prasangka bahwa Dia akan mengasihinya serta memberikan ampunan kepadanya.
Hendaknya ia mengetahui penguasa pada masanya, menjaga diri dari kekuasaannya, berusaha untuk menjauhkan dirinya dari penguasa itu, dan menjaga kelurusan hidupnya, serta menjauhkan dirinya sedapat mungkin dari godaan dunianya, dan ia berusaha keras dalam hal itu sekuat tenaga.
Dan hendaknya perkaranya yang paling penting adalah wara` dalam agamanya, bertaqwa kepada Allah SWT, dan memperhatikan perintah dan larangan Allah SWT.
Ibnu Mas`ud berkata: pembaca Al Quran hendaknya mengetahui malamnya saat manusia tidur, dan siangnya saat manusia bangun, dengan tangisnya saat manusia tertawa, dengan diamnya saat manusia ribut, dengan kekhusyu`annya saat manusia gelisah, serta dengan kesedihannya saat manusa gembira ria.
Abdullah bin Amru berkata: tidak seharusnya seorang penghapal Al Quran ikut larut bersama orang lain saat mereka tenggelam dalam dunia, tidak turut bodoh bersama orang bodoh, namun ia memberi maaf bagi orang lain, dan menampilkan dirinya dengan lembut dan berwibawa.
Ia harus bertawadhu` terhadap para fakir miskin, menjauhkan takabbur dan memuji diri sendiri, menjauhi dunia dan anak-anak dunia jika ia takut terhadap fitnah, meninggalkan pertengkaran dan perdebatan, serta bersikap lembut dan berakhlak mulia.
Ia harus menjadi orang yang tidak menimbulkan kejahatan, kebaikannya diharapkan, tidak membuat kerusakan, tidak memperdulikan orang yang mengadu dombanya, bersahabat dengan orang yang membantunya dalam melakukan kebaikan, yang menunjukkannya kepada kejujuran dan akhlak yang mulia, serta yang menghiasi dirinya bukan mengotorinya.
Hendaknya ia mempelajari hukum-hukum Al Quran dan meminta pemahaman dari Allah SWT akan keinginan-Nya dan kewajiban yang harus ia jalankan, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari apa yang ia baca, mengerjakan apa yang baca, karena bagaimana mungkin ia mengamalkan sesuatu yang ia tidak pahami? Dan alangkah buruknya orang yang ditanyakan tentang apa yang ia baca namun ia tidak tahu. Jika demikian maka ia seperti kuda yang membawa kitab-kitab besar (namun tidak memahami sedikitpun isi kitab-kitab itu)!
Ia harus mengetahui bagian Al Quran Makiah dan Madaniah, sehingga ia mengetahui mana yang ditujukan kepada manusia pada awal Islam, dan mana yang diturunkan pada akhir masa kenabian, apa yang diwajibkan oleh Allah SWT pada awal Islam, dan apa yang ditambah kemudian dari kewajiban-kewajiban itu pada masa akhir kenabian. Bagian Madaniah adalah pengganti bagian Makiah, dan bagian Makiah tidak
mungkin menjadi pengganti bagian Madaniah. Karena yang terhapus (tergantikan) dari ayat-ayat itu adalah apa yang diturunkan sebelum ayat pengganti (nasikh).
Al Qurthubi berkata: jika point-point tadi telah dikuasai oleh penghapal Al Quran, maka ia menjadi oryang ahli Al Quran, dan ia menjadi orang yang dekat Allah SWT. Ia tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang kami sebutkan sebelumnya hingga ia mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT semata, baik saat ia menuntut ilmu maupun setelahnya. Seorang penuntut ilmu dapat saja memulia pencariannya itu dengan tujuan untuk kebanggaan dan kemuliaan dunia, hingga akhirnya ia mengetahui kesalahan niatnya itu, maka ia bertaubat dari hal itu dan mengikhlaskan niatnya kepada Allah SWT, dan iapun dapat mengambil manfaat darinya dan memperbaiki perilakunya. Al Hasan
berkata: kami sebelumnya menuntut ilmu karena dunia, namun kemudian kami tarik diri
kami ke akhirat. Sufyan Tsauri juga berkata seperti itu. sementara Habib bin Abi Tsabit berkata: Kami menuntut ilmu tidak disertai niat, kemudian datang niat itu setelahnya. Muqaddimah tafsir al Qurthuby juz 1 hal 14-19, cet. Dar al Kutub al Mishriyyah.

Mengajarkan Al Quran
Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Yanag paling baik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya”.
Al Quran adalah objek yang paling utama untuk dipelajari dan diajarkan.
Zarkasyi berkata dalam kitabnya “Al Burhan”: “Para ulama sahabat kami mengatakan: mengajarkan Al Quran adalah fardhu kifayah, demikian juga menghapalnya, adalah wajib bagi umat Islam. Makna kewajiban itu –seperti dikatakan oleh Al Juwaini—adalah agar jumlah mata rantai berita mutawatir tidak terputus, dan tidak terjadi penggantian dan perubahan terhadap Al Quran. Jika sebagian orang mengerjakan kewajiban itu, maka kewajiban itu terbebas bagi yang lainnya. Jika tidak, maka semua
umat Islam mendapatkan dosa. Jika dalam suatu negeri atau kampung tidak ada yang membaca Al Quran, maka semua penduduk negeri itu mendapatkan dosa. Jika ada sekelompok orang yang dapat mengajarkan Al Quran, kemudian ia diminta untuk mengajar, namun ia menolak, ia tidak berdosa menurut pendapat yang paling sahih.
Seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab At Tibyan. Bentuk masalah ini adalah:
jika sesuatu maslahat tidak hilang dengan penundaan itu maka ia dapat menolak.
Sementara jika hilang, maka ia tidak boleh menolak permintaan itu.  Al Burhan juz 1/456

Namun, apa yang yang dimaksud dengan mempelajari dan mengajarkan Al Quran? Yang dimaksud adalah: menghapal kata-kata dan huruf-huruf Al Quran dalam hati. Ini adalah tugas yang dilakukan oleh katatib (pondok-pondok penghapal Al Quran) pada masa lalu, dan sebagiannya masih ada hingga saat ini, sementara saat ini tugas itu dilakukan oleh sekolah tahfizh Al Quran.
Itu dapat masuk dalam pengertian belajar dan mengajarkan Al Quran. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa inilah yang dimaksud itu, bukan lainnya.
Barangkali inilah rahasia mengapa orang amat memberikan perhatian terhadap penghapalan Al Quran, memuliakan para penghapalnya, dan menyiapkan hadiah serta pemberian uang yang banyak bagi para penghapal Al Quran. Sehingga ada sebagian
penghapal Al Quran yang mendapatkan hadiah dalam musabaqah yang diselenggarakan di Qathar sebesar lima puluh ribu rial, di tambah mobil yang lebih mahal dari jumlah itu.
dan pada tahun kedua ia mendapatkan hadiah yang hampir sama dengan itu!
Kecenderungan seperti inilah yang mendorong kami untuk mengkritik dalam buku-ku “Fi Fiqh al Awlawiyaat”, yaitu ketika saat ini tindakan menghapal Al Quran lebih dilihat penting dibandingkan dengan usaha untuk memahaminya. Para penghapal lebih dihormati dan lebih diperhatikan dibandingkan para faqih (ahli agama).
Al Quran mendefinisikan tugas Nabi Saw adalah: “mengajarkan Al Quran dan Hikmah”, dalam empat ayat Al Quran. Yaitu Surah al Baqarah: 129, 151. Surah Ali Imran: 164. Dan surah Al Jumu`ah: 2.

Dan tentunya yang dimaksudkan dengan “mengajarkan” ini bukan “mengajarkan menghapal”, dengan dalil perintah itu diiringi dengan tugas membacakan ayat-ayat Al Quran kepada mereka:
“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah.” (Ali Imran: 164). Maka mengajar lebih khusus dari membaca.
Belajar dan mengajar inilah yang diungkapkan oleh sebagian hadits sebagai “tadaarus”.
Dalam sahih Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
“Setiap sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah, membaca kitab Allah, dan mentadaruskan Al Quran di antara mereka, maka ketenangan akan diturunkan kepada mereka, dan mereka akan dipenuhi oleh rahmat Allah, dikelilingi para Malaikat, dan Allah SWT akan mengingat dan menyebut mereka yang hadir di majlis itu” . Hadits diriwayatkan oleh Muslim dalam Adz Dzikr (2699).
Makna tadarus Al Quran adalah: berusaha untuk mengetahui lafazh-lafazh dan redaksinya, pemahaman dan maknanya, serta ibrah yang dikandungnya, serta hokum-hukum dan etika yang diajarkannya.
“At Tadarus” adalah wazan tafa`ul dari ad dars, maknanya adalah: salah satu pihak atau beberapa pihak mengajukan pertanyaan, dan pihak lainnya menjawab pertanyaan itu, pihak ketiga mengkaji lebih lanjut, dan pihak selanjunya berusaha mengoreksi atau melengkapinya. Inilah yang dimaksud dengan tadarus.
Tadarus inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw bersama utusan wahyu Jibril a.s. pada bulan Ramadhan setiap tahun. Seperti diriwayatkan oleh Ibnu Abbas s.a.,
saat Jibril turun kepada Rasulullah SAW, dan mentadaruskan Al Quran bersama beliau. Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas.

Mudarasah (pengkajian) Al Quran yang paling baik adalah yang dilakukan oleh dua pihak utusan Allah SWT yang mulia: utusan Allah SWT dari langit, dan utusan Allah SWT di bumi!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar