HUKUM
MEMPELAJARI ILMU TAJWID
Oleh: Abu Fahmi Ahmad
بسم الله الرحمن الرحيم
الذين آتينـهم الكتـب يتلونه حق تلاوته
أولئك يؤمنون به ..ومن يكفر به فأولـئك هم الخاسرون.
Orang-orang yang telah Kami berikan
Al kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya[*],
mereka itu beriman kepadanya. dan Barangsiapa yang ingkar kepadanya, Maka
mereka Itulah orang-orang yang rugi. (2:121)
[*]
Maksudnya: tidak merobah dan mentakwilkan Al kitab sekehendak hatinya.
ورتل القرآن ترتيلا
Dan
bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan, QS Al Muzzammil: 4
ولقد يسرناالقرآن
للذكر فهل من مدكر
Dan
Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, Maka Adakah orang
yang mengambil pelajaran? Al Qomar: 17, 22, 32,40
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
اِقرءوالقرآن بِلُحُونِ العربِ وأصواتها وإياكم ولحون أهل الفسق والكبائر
فإنه سيجيء أقوامٌ من بعدي يُرَجِّعُونَ
القرآن ترجيعَ الغناء والرهبانية والنَّوح لا يجاوز حناجرهم مفتونةٌ قلوبهم وقلوب
من يعجبُهم شأنهم
Apa itu ilmu tajwid ?
Tajwid
secara bahasa adalah mashdar dari jawwada-yujawwidu, yang
artinya membaguskan. Sedangkan secara istilah, Imam Ibnul Jazari menjelaskan:
الإتيان بالقراءة
مجودة بالألفاظ بريئة من الرداءة في النطق ومعناه انتهاء الغاية في التصحيح وبلوغ
النهاية في التحسين
“tajwid
adalah membaca dengan membaguskan pelafalannya, yang terhindar dari keburukan
pelafalan dan keburukan maknanya, serta membaca dengan maksimal tingkat
kebenarannya dan kebagusannya” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr,
1/210).
Beliau
juga menjelaskan hakekat dari ilmu tajwid,
فالتجويد هو حلية
التلاوة ، وزينة القراءة ، وهو إعطاء الحروف حقوقها وترتيبها مراتبها ، ورد الحرف
إلى مخرجه وأصله ، وإلحاقه بنظيره وتصحيح لفظه وتلطيف النطق به على حال صيغته ،
وكمال هيئته ; من غير إسراف ولا تعسف ولا إفراط ولا تكلف
“maka
tajwid itu merupakan penghias bacaan, yaitu dengan memberikan hak-hak, urutan
dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf, dan mengembalikan setiap huruf
pada tempat keluarnya dan pada asalnya, dan menyesuaikan huruf-huruf tersebut
pada setiap keadaannya, dan membenarkan lafadznya dan memperindah pelafalannya
pada setiap konteks, menyempurnakan bentuknya. tanpa berlebihan, dan
tanpa meremehkan” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr,
1/212).
من شغله القرآنُ عن
ذكري ومسألتي أعطيته أفضلَ ما أُعطِيَ السائلين وفضل كلام الله على سائر الكلام
كفضل الله على خَلقِه (رواه الترمذي)
“Barangsiapa
yang disibukkan oelh Al Qur`an dalam rangka berdzikir kepada Ku dan memohon
kepada Ku niscaya Aku akan memberikan sesuatu yg lebih utama dari pada apa yang
telah Aku berikan kepada orang-orang yg telah meminta. Dan keutamaan Kalamullah
daripada seluruh seluruh kalam yang selian Nya seperti keutamaan Allah atas
makhluk Nya”
خَيْرُكُمْ مَنْ
تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري عن عثمان ابن عفان)
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al Qur`an dan yang mengajarkannya” HR Bukhari dari Utsman bin
`Affan Radliyallahu `anh
اَلْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ
الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ والَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ
وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ (رواه مسلم)
Orang yang mahir membaca (dan
menghafal) al Qur`an bersama para Malaikat yang mulia lagi taat. Orang yang
membaca al Qur`an dengan terbata-bata lagi sulit (dalam membacanya) mendapatkan
dua pahala… HR Muslim
Hukum Mempelajari Ilmu
Tajwid:
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya, “apakah seorang Muslim boleh
membaca Al Qur’an tanpa berpegangan pada kaidah-kaidah tajwid?”. Beliau
menjawab:
نعم يجوز ذلك إذا لم يلحن فيه فإن لحن فيه فالواجب عليه تعديل اللحن وأما
التجويد فليس بواجب التجويد تحسين للفظ فقط وتحسين اللفظ بالقرآن لا شك أنه خير
وأنه أتم في حسن القراءة لكن الوجوب بحيث نقول من لم يقرأ القرآن بالتجويد فهو آثم
قول لا دليل عليه بل الدليل على خلافه بل إن القرآن نزل على سبعة أحرف حتى كان كل
من الناس يقرؤه بلغته إلا أنه بعد أن خيف النزاع والشقاق بين المسلمين وحد
المسلمون في القراءة على لغة قريش في زمن أمير المؤمنين عثمان بن عفان رضي الله
عنه وهذا من فضائله ومناقبه وحسن رعايته في خلافته أن جمع الناس على حرف واحد لئلا
يحصل النزاع والخلاصة أن القراءة بالتجويد ليست بواجبة وإنما الواجب إقامة الحركات
والنطق بالحروف على ما هي عليه فلا يبدل الراء لاما مثلا ولا الذال زاياً وما أشبه
ذلك هذا هو الممنوع
“Ya,
itu dibolehkan. Selama tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan)
di dalamnya. Jika terjadi lahn maka wajib untuk memperbaiki lahn-nya tersebut.
Adapun tajwid (hukum mempelajari ilmu tajwid), hukumnya tidak wajib.
Tajwid
itu untuk memperbagus pelafalan saja, dan untuk memperbagus bacaan Al Qur’an.
Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih sempurna dalam membaca Al
Qur’an. Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang tidak membaca Al
Qur’an dengan tajwid maka berdosa‘ ini adalah perkataan yang tidak
ada dalilnya. Bahkan dalil-dalil menunjukkan hal yang berseberangan dengan itu.
Yaitu
bahwasanya Al Qur’an diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya
dengan gaya bahasa mereka sendiri. Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi
perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum
Muslimin dalam satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul
Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu’anhu. Dan ini merupakan salah satu
keutamaan beliau (Utsman), dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau
dalam masa kekhalifahannya untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar
tidak terjadi perselisihan di tengah umat.
وَالأَخْذُ
بِالتَّجْوِيْدِ حَتْمٌ لاَزِمٌ – مَنْ لَمْ يُصَحِّحِ القُرْآنَ آثِمٌ
لأَنَّهُ بِهِ
الإِلهُ أَنْزَلَ – وَهكَذَا مِنْهُ إِلَيْنَا وَصَلَ
Membaca al Qur`an dengan tajwid hukumnya wajib -
Barangsiapa yang tidak memperbaiki bacaan al Qur`an ia berdosa – karena dengan
tajwidlah Allah menurunkan al Qur`an
- Dan dengan demikian pula al Qur`an itu sampai kepada kita
(Perkataan Al Imam Ibnul Jazari rahimahullah
Kesimpulannya, membaca Al Qur’an dengan tajwid
tidaklah wajib. Yang wajib adalah membaca harakat dan mengucapkan huruf sesuai
yang sebagaimana mestinya (MAKHARIJUL HURUFNYA). Misalnya, tidak mengganti huruf ra’
(ر) dengan lam (ل), atau huruf dzal (ذ) diganti zay (ز), atau semisal itu yang merupakan perkara yang terlarang”. (Fatawa
Nurun ‘alad Darbi, 5/2, Asy Syamilah).
Dengan
demikian, apa yang disebutkan sebagian ulama qiraat, bahwa wajib membaca Al
Qur’an dengan tajwid, yaitu semisal wajib membaca dengan ikhfa, idgham, izhar
dan lainnya, adalah hal yang kurang tepat dan membutuhkan dalil syar’i untuk
mewajibkannya. Yang tepat adalah, ilmu tajwid wajib dalam kadar yang bisa
menghindari seseorang dari kesalahan makna dalam bacaannya. Terdapat penjelasan
yang bagus dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah :
ذَهَبَ الْمُتَأَخِّرُونَ إِلَى التَّفْصِيل بَيْنَ مَا هُوَ
(وَاجِبٌ شَرْعِيٌّ) مِنْ مَسَائِل التَّجْوِيدِ، وَهُوَ مَا يُؤَدِّي تَرْكُهُ
إِلَى تَغْيِيرِ الْمَبْنَى أَوْ فَسَادِ الْمَعْنَى، وَبَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ
صِنَاعِيٌّ) أَيْ أَوْجَبَهُ أَهْل ذَلِكَ الْعِلْمِ لِتَمَامِ إِتْقَانِ
الْقِرَاءَةِ، وَهُوَ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ مِنْ
مَسَائِل لَيْسَتْ كَذَلِكَ، كَالإِْدْغَامِ وَالإِْخْفَاءِ إِلَخْ. فَهَذَا
النَّوْعُ لاَ يَأْثَمُ تَارِكُهُ عِنْدَهُمْ.
“para ulama
muta’akhirin merinci antara wajib syar’i dengan wajib
shina’i dalam masalah tajwid. Wajib syar’i
(kewajiban yang dituntut oleh syariat) adalah yang jika meninggalkannya dapat
menjerumuskan pada perubahan struktur kalimat atau makna yang rusak. Dan wajib
shina’i adalah hal-hal yang diwajibkan para ulama qiraat untuk
menyempurnakan kebagusan bacaan.
Maka
apa yang disebutkan pada ulama qiraat dalam kitab-kitab ilmu tajwid mengenai
wajibnya berbagai hukum tajwid, bukanlah demikian memahaminya. Seperti idgham,
ikhfa’, dan seterusnya, ini adalah hal-hal yang tidak berdosa jika
meninggalkannya menurut mereka.
قَال
الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْقَارِيُّ بَعْدَ بَيَانِهِ أَنَّ مَخَارِجَ الْحُرُوفِ
وَصِفَاتِهَا، وَمُتَعَلِّقَاتِهَا مُعْتَبَرَةٌ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ:
فَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وُجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ
بِهِ الْمَبْنَى وَيَفْسُدُ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يَحْسُنُ بِهِ
اللَّفْظُ وَيُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَال الأَْدَاءِ
Asy
Syaikh Ali Al Qari setelah beliau menjelaskan bahwa makharijul huruf berserta
sifat-sifat dan hal-hal yang terkait dengannya itu adalah hal yang berpengaruh
dalam bahasa arab, beliau berkata: ‘hendaknya setiap orang memperhatikan semua
kaidah-kaidah makharijul huruf ini. Wajib hukumnya dalam kadar yang bisa
menyebabkan perubahan struktur kalimat dan kerusakan makna. Sunnah hukumnya
dalam kadar yang bisa memperbagus pelafalan dan pengucapan ketika membacanya'”
(Al
Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 10/179).
Maka
tidak benar sikap sebagian orang yang menyalahkan bacaan Al Qur’an dari
orang-orang yang belum pernah mendapatkan pelajaran tajwid yang mendalam,
padahal bacaan mereka masih dalam kadar yang sudah memenuhi kadar wajib, yaitu
tidak rusak makna dan susunan katanya. Bahkan sebagian orang ada yang merasa
tidak sah shalat di belakang imam yang tidak membaca dengan tajwid. Dan ada
pula sebagian pengajar tajwid yang menganggap tidak sah bacaan Al Qur’an setiap
orang yang tidak menerapkan semua kaidah-kaidah tajwid dengan sempurna. Ini
adalah sikap-sikap yang kurang bijak yang disebabkan oleh kurangnya ilmu. Wallahul
musta’an.
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, dari al Qur`an dan as sunnah, serta Qaul `Ulama’, dapat
kita simpulkan bahwa:
Hukum
mempelajari ilmu Tajwid serara teori adalah FARDLU KIFAYAH.
Adapun hukum membaca Al Qur`an sesuai dengan kaidah
ilmu tajwid
adalah
FARDLU `AIN.
Maka
bisa jadi ada seorang Qari` bacaannya baik dan benar, padahal ia sama sekali ia
tidak mengetahui istilah-istilah ilmu Tajwid. Semisal apa itu Izhhar, idgham,
mad dll …… Di sekitar dia terdapat ahli-ahli Tajwid yg bisa meluruskan bacaan
dan mengajarkannya…
Tujuan
Mempelejari Ilmu Tajwid:
Yaitu:
Untuk menjaga lidah agar terhindar dari kesalahan dalam membaca Al Qur`an.
Kesalahan dalam membaca al Qur`an yang disebut dengan Lahn, dibagi
menjadi dua : Lahn al Jaliy dan Lahn al Khafiy.
Yg
dimaksud dgn Lahn Jaliy. Yaitu kesalahan yg terjadi ketika membaca
lafazh-lafazh dalam al Qur`an, yg dpt
merubah arti , sehingga menyalahi `urf qurra`…. Misal Ain
dibaca dg Hamzah, atau zain dibaca dgn jim, atau merubah harakat. Hukum kesalahan ini Haram.
Adapun
Lahn al Khafiy, yaitu kesalahan yg terjadi ketika membaca al Qur`an yg
menyalahi `urf qurra`, namun tidak sampai merubah arti. Seperti tdk
membaca ghunnah, mad kurang panjang atau terlalu panjang…. Ini hukumnya Makruh.
Wallahu
a`lam….