SIKAP AHLI SUNNAH WALJAMA`AH
TERHADAP AHLI BID`AH

Oleh Syaikh Moh Abdul Hadi al Mishri, Ahlussnah wal Jama`ah, Ma`alim Inthilaqatul Kubro, penerj. Abu Fahmi.

Sikap ke-1 :
Pertimbangan Ahli Sunnah Waljama`ah dalam Bermu`amalah dengan Ahli Bid`ah

Ahli Sunnah Waljama`ah memiliki kewajiban utama terhadap Ahli Bid`ah dalam hal menjelaskan posisi mereka dan memperingatkan umat terhadap bahaya mereka. Termasuk menzhahirkan Sunnah dan memberikan pengertian kepada kaum muslimin. Kemudian mencegah meluasnya pengaruh bid`ah dan menolak timbulnya kezhaliman serta permusuhan dari pelakunya. Hal itu demi menegakkan keadilan dan hukum berdasarkan Al Quran dan Sunnah.

Itulah sikap Ahli Sunnah, dan aku selalu berlapang dada menghadapi penentang paham Ahli Sunnah yang aku yakini. Maka jika seseorang melampaui batas aturan Allah dalam mengkafirkan, menuduh fasik, mengada-ada, atau fantastis jahiliyah, dalam hal ini aku tidak membalasnya dengan sikap yang sama. Bahkan akan berusaha agar ucapan dan perbuatanku selalu selaras dengan mizan keadilan. Aku menjadikan ucapan dan perbuatanku itu sempurna dengan Kitab yang Allah turunkan, yang menjadi petunjuk bagi umat manusia, menjadi hakim bagi mereka yang berselisih paham.(Juz 3:245)

Seseorang yang menyaksikan suatu khabar yang menyakitkan atau yang merupakan celaan terhadap sikap keadilan dan dinnya, maka barulah disebut menyaksikan jika ia mengetahui seorang saksi melalui berita yang tersebar –atau bahkan hanya melalui pendengaran dan penglihatan langsung –dan hal itu menjadi celaan yang bersifat syar`i. Dan aku  tidak mengetahui hal ini diperselisihkan di antara manusia. Sesungguhnya yang  kaum muslimin saksikan pada masa kami, seperti halnya terjadi pada diri Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Basri serta Ahlul `Adl wad-Din lainnya, hanyalah melalui berita-berita yang tersebar. Demikian juga yang mereka ketahui tentang Hajjaj bin Yusuf, Mukhtar bin Abi `Ubaid, Amru bin `Ubaid, Ghailan al-Qadri, Abdullah bin Ubay (seorang Rafidli), dan pelaku kezhaliman serta bid`ah lainnya, hanyalah melalui berita-berita  yang tersebar. Dalam hal ini, jika yang dimaksudkan adalah menuduh mereka fasik, maka tertolak kesaksian dan perwalian mereka. Tetapi jika dimaksudkan hanya sebagai peringatan dan usaha menjauhkan kejahatan mereka, cukuplah kesaksian mereka.

Orang yang menyerukan bid`ah wajib mendapat hukuman berdasarkan kesepaktan kaum muslimin. Dan bentuk hukuman itu bisa dengan dibunuh atau dengan cara lain. Andaikata dia tidak patut dihukum atau tidak mungkin dihukum, maka haruslah dijelaskan bid`ahnya dan hendaklah berhati-hati terhadapnya. Sesungguhnya hal ini termasuk amar ma`ruf nahi munkar yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Dan jika pelaku bid`ah tersebut dapat digolongkan sebagai ahlul hawa`, atau yang dikenal di kalangan Ahli Ilmu Sunnah sebagai penentang Kitab dan Sunnah, seperti Khawarij, Rawafidl, Qadariyah, dan Murji`ah, maka telah berkata Abdurrahman bin Mahdi:”Kedua bid`ah ini harus diwaspadai, yaitu Jahmiyah dan Rafidlah. Karena, termasuk bid`ah yang paling jahat.” (Juz 35:413-415)

Demikian juga bagi orang yang mengkafirkan kaum muslimin atau menghalalkan darah dan harta mereka. Terhadap bid`ah seperti ini –yang tidak terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul- wajib ia meninggalkannya, dan hukumannya disesuaikan dengan kejahatan yang diperbuatnya, sekalipun dengan pembunuhan atau peperangan. Jika orang yang melampaui batas dihukum dan orang-orang yang bertakwa dimuliakan, maka hal ini merupakan sebab terpenting yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya meridlainya dan menjadikan maslahan bagi urusan kaum muslimin.(Juz 3:423)
Jika pada diri seseorang berhimpun kebaikan dan kejahatan, kedurhakaan dan ketaatan, maksiat, Sunnah, dan bid`ah, maka patut baginya mendapatkan hak muawalah dan pahala sesuai dengan kebaikan yang ada padanya. Dia juga berhak menerima mu`adah da hukuman sesuai dengan kejahatan yang ada padanya. Oleh karena itu, pada seseorang terdapat sebab-sebab kemuliaan dan kehinaan, sehingga padanya berhimpun “ini dan “itu” (Juz 28:209)

Hal yang perlu diketahui dalam pembahasan ini adalah bahwa syari`at telah memerintahkan kepada kita untuk menegakkan aturan bagi seseorang di dunia, apakah dengan hukum bunuh, dera, atau lainya, sehingga di akhirat kelak tidak akan disiksa. Seperti membuuh orang melakukan bughat (membangkang) dan orang yang melakukan takwil,  dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan. Atau menegakkan hukuman bagi orang yang  bertaubat setelah memenuhi kriteria taubat yang benar. Berbeda dengan orang yang tidak melakukan takwil.

Kita pun mengetahui bahwa seseorang tidak dihukum di dunia, namun dia dihukum bersama orang-orang kafir di akhirat kelak. Seperti ahli dzimmah yang mau memenuhi jizyah atas kekafiran mereka. Juga seperti orang-orang munafik yang menzhahirkan Islam (namun batinnya kufur), maka pada diri mereka berlaku hukum-hukum Islam di dunia. Akan tetapi di akhirat mereka tetap sebai orang-orang kafir yang patut disiksa.
Hal ini disebabkan karena balasan pada hakikatnya tak lain hanya ada di kampong akhirat yang memang merupakan Dar Uts-Tsawab wal-`Iqab (medan balasan dan hukuman). Adapun di dunia, Allah hanya mensyari`atkan adanya hukuman untuk mencegah tindak kezhaliman dan permusuhan. Jika demikian, maka hukuman dunia tidaklah mengharuskan adanya hukuman akhirat, dan tidak pula sebaliknya. Oleh karena itu, mayoritas ulama Salaf memerintahkan untuk membunuh orang yang menyeru kepada bid`ah yang bisa menyesatkan manusia dan merusak agama. Hal ini, menurut mereka, sama saja apakah dia kafir atau bukan kafir. (Juz 12:500)

Adapun mengenal Imam-imam bid`ah dari golongan yang berpaham menyalahi Kitab dan Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyalahi kedua hal itu, maka menelaskan perihal mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Seseorang bertanya kepada Ahmad bin Hambal:”Ada orang berpuasa, shalat, dan beri`tikaf, mana yang lebih Anda cintai daripada orang yang membincangkan ahli bid`ah?”Ia pun menjawab:’Jika seseorang shalat dan i`tikaf, maka apa yang ia lakukan itu untuk dirinya sendiri. Sedangkan jika ia berkata tentang ahli bid`ah, maka hal itu menyangkut kaum muslimin, hal ini lebih utama.”Oleh karena itu, jelaslah bahwa manfaat ini bersifat umum bagi kaum muslimin dalam Din mereka, termasuk jenis jihad di jalan Allah. Karena hal ini dapat membersihkan jalan Allah, agama, manhaj, serta syari`at-Nya, di samping mencegah kezhaliman dan pelanggaran mereka.
Berdasarkan hal tersebut, mencegah kerusakan mereka termasuk wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sebab andaikan tidak ada orang yang dibangkitkan Allah untuk mencegah mudharat yang dilakukan seseorang, tentulah agama Islam ini akan rusak, dan kerusakannya lebih besar daripada kerusakan yang disebabkan pendudukan ahli harbi. Karena ahli harbi jika berkuasa tidak sampai merusak hati dan apa-apa yang ada di dalam unsur agama, keculi efek sampingnya. Sedangkan ahli bid`ah tujaun utamanya adalah merusak hati.(Juz 28:231-232)

Musuh-musuh Islam ada dua golongan, yaitu orang-orang kafir dan kaum munafik. Oleh karenanya Allah memerintahkan untuk berjihad memberantas kedua golongan tersebut. Kaum munafik melakukan bid`ah dengan menyeru hal-hal yang bertentangan dengan Kitab,  dan mereka mencampuradukannya untuk disebarkan kepada khalayak manusia, tanpa menjelaskannya kepada mereka. Golongan ini merusak perintah Kitab dan mengubah agama, sebagaimana rusaknya agama Ahli Kitab sebelum kita, karena adanya berbagai perubahan dan penggantian yang tidak diingkari oleh kaumnya. Jika kaum itu bukan kaum munafik, paling tidak mereka adalah orang-orang yang memperdengarkan kaum munafik.
Kelompok ini telah mencampuradukan persoalan kepada orang-orang sehingga mereka  menganggap semua pendapat kelompok ini benar, padahal jelas bertentangan dengan Kitab. Maka jadilah mereka para penyeru bid`ah-bid`ah munafikin. Meskipun perihal mereka dijelaskan, tetapi fitrah yang menyertai mereka lebih besar. Karena pada diri mereka terdapat keimanan yang harus didukung, tetapi mereka telah masuk ke dalam bid`ah-bid`ah munafikin yang merusak ad-Din. Oleh sebab itu, mereka perlu diwaspadai. Bahkan bila perlu disebutkan identitas mereka. Seandainya mereka tidak menerima bid`ah-bid`ah itu dari orang munafik, tetapi mereka mengatakannya karena mengira bahwa hal itu adalah petunjuk dan kebaikan bahkan termasuk ad-Din, maka keadaan orang seperti ini pun perlu dijelaskan. (Juz 28:232-233)

Maka wajib menjelaskan keadaan orang yang melakukan kesalahan di dalam hadits dan riwayat, termasuk orang yang salah dalam berpendapat dan berfatwa, juga orang yang salah dalam berzuhud  dan beribadah. Jika ia keliru dalam berijtihad, maka diampunilah kesalahannya serta mendapatkan pahala dari ijtihadnya. Dengan demikian, menjelaskan perkataan dan perbuatan yang dipandu Kitab dan Sunnah merupakan kewajiban, meskipun ada orang yang menentang perkataan dan perbuatannya. Dan siapa yang mengetahui kekeliruan ijtihad yang diperbolehkan, maka tidak boleh mencela dan menganggap dosa, sebab Allah mengampuni kesalahannya. Bahkan wajib mengadakan muwalah dan mahabbah dengannya selama unsur iman dan takwa masih ada pada dirinya. Juga harus memberikan hak-haknya seperti pujian, doa, serta lainnya. jika pada dirinya diketahui ada sifat nifak –sebagaimana diketahui kemunafikan sekelompok orang pada masa Rasulullah, dan seperti halnya kaum muslimin mengetahui kemunafikan Rafidlah- maka ia disebut nifak.

Jika seseorang jelas-jelas melakukan bid`ah, tetapi tidak diketahui apakah ia seorang yang munafik atau beriman yang keliru menyebutkan sesuatu karena ketidaktahuannya, maka tidak halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa didukung oleh ilmu. Juga tidak halal baginya kecuali karena ikhlas kepada Allah, dan hanya menjadikan agar kalimat Allah itu tinggi, serta agar menjadikan Din ini seluruhnya untuk Allah. Maka barang siapa membicarakan sesuatu hal tanpa ilmu atau dengan sesuatu yang ia ketahui penyimpangannya, maka ia menjadi berdosa. (Juz 28:233-234)

Sekelompok orang dari ashab Asy-Syafi`i, Ahmad, dan lainnya, membolehkan membunuh penyeru bid`ah yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah. Demikian juga kebanyakan dari sahabat-sahabat Malik. Mereka berkata:”Malik dan lainnya membolehkan membunuh Qadariyah semata-mata melihatnya sebagai perusak di atas bumi, bukan karena segi kemurtadannya.” Kemudian mereka mengajukan dalil:”Manakala pelaku kerusakan tidak bisa dihentikan kecuali dengan membunuhnya, maka ia harus dibunuh.”(Juz 28:346)
Adapun membunuh sesseorang dari Khawarij dan Rafidlah, telah diriwayatkan dari Umar dan Ali. Para fuqaha juga membolehkan membunuh kedua golongan itu sekalipun di antara mereka masih berselish, asalkan bukan perselisihan mengenai kewajiban memerangi pelaku aniaya dan pembangkang yang melawan, meskipun ada di antara mereka yang tidak patut dihukum kecuali berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Nash-nash mutawatir tentang Khawarij itu berasal dari Nabi Saw dan telah diperluas cakupannya oleh para ulama, hingga meliputi seluruh pengikut aliran sesat yang keluar dari syariat Rasulullah dan jama`ah muslimin. Bahkan mereka lebih jelek daripada Khawarij al-Hururiyah, seperti Al-Khurmiyah, Qaramithah, dan Nushairiyah. Juga setiap orang yang meyakini manusia sebagai Tuhan, atau menganggap orang lain sebagai nabi, dan juga bagi orang yang membunuh da memerangi kaum muslimin. Pemberian sebutan oleh Nabi terhadap Khawarij al-Hururiyah hanyalah karena mereka merupakan kelompok pertama ahli bid`ah yang keluar dari barisan kaum muslimin. Bahkan merekalah kelompok yang paling pertama keluar dari jama`ah pada masa Nabi, maka jika beliau menyebut mereka hanyalah karena dekatnya mereka dari kehidupannya, sebagaimana juga Allah dan Rasul-Nya mengkhususkan penyebutan suatu peristiwa pada jaman tersebut. Pengkhususan dalam penyebutan bukanlah untuk pengkhususan secara hukum, namun demi kejelasan pembicaraan mereka, ini pun jika tidak menjadikan lafazh-lafazhnya mencakup mereka.(Juz 28:475-477)

Adapun membunuh seseorang dari Khawarij –seperti Al-Hururiyah, Rafidlah, dan lainnya- dalam hal ini ada dua pendapat fuqaha. Kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad yang membolehkan membunuh mereka, seperti membunuh orang yang menyerukan madzhabnya padahal terdapat kerusakan.
Sedangkan dalam hal mengkafirkan dan menganggap mereka kekal di neraka juga ada dua pendapat ulama yang masyhur, keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad. Dua pendapat tersebut berkenaan dengan Khawarij dan para pembangkang dari kalangan Hururiyah, Rafidlah,dan lainnya. memang benar bahwa perkataan-perkataan yang diketahui bertentangan dengan ajaran Rasulullah adalah kufur. Demikian pula perbuatan mereka yang mengikuti perbuatan orang-orang kafir terhadap kaum muslimin adalah kufur. Tetapi mengkafirkan seseorang dari mereka dan menghukumi mereka kekal di neraka diperlukan persyaratan pengkafiran yang benar dan tertolaknya penghalang-penghalangnya. Kami mengumumkan pendapat berdasarkan nash-nash janji ancaman, pengkafiran, dan tuduhan fasik, serta kami tidak menghukumi orang tertentu yang tergolong umum sehingga tegak ketentuan-ketentuan yang dikehendaki yang tidak dipertentangkan. Maka sesungguhnya hukum kufur itu tidaklah terjadi kecuali setelah sampainya risalah. Dan kebanyakan mereka tidak mengetahui nash-nash yang bertentangan dengan pendapat mereka dan tidak mengetahui bahwa Rasul diutus untuk itu. Jelaslah bahwa perkataan seperti itu kufur, dan kafirlah   yang telah ditegakkan hujjah padanya namun mengingkari untuk meninggalkannya. Allahu A`lam. (Juz 28:499-501)

Pelaku bid`ah yang keluar dari sebagian syari`at Rasulullah da Sunnahnya, menghalalkan darah kaum muslimin yang berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah dan syari`atnya, serta menghalalkan harta kaum muslimin,mereka lebih patut diperangi daripada orang fasik. Meskipun ia menjadikan hal sebagai cara yang dibenarkan agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Untuk itulah para Imam Islam bersepakat bahwa bid`ah-bid`ah yang berat ini lebih jahat daripada dosa-dosa yang diyakini pelakunya sebagai dosa. Dengan demikian, berlakulah Sunnah Rasulullah yang menyuruh memerangi Khawarij yang keluar dari Sunnah, menyuruh bersabar terhadap kedurhakaan dan kezhaliman pemimpin mereka, juga agar tetap bershalat di belakang mereka sekalipun mereka berdosa. Rasulullah menyaksikan sebagian para sahabatnya yang terus-menerus melakukan sebagian dosa padahal ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal ini beliau melarang mengutuknya.

Beliau mengabarkan perihal Dzul Khawaishirah dan sahabat-sahabatnya yang taat dalam beribadah dan kewara`an mereka, tetapi sesungguhnya mereka telah keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya.(Juz 28:470-471)
Inilah Sunnah Amirul Mukminin Ali dan yang lainnya, yang telah memerintahkan menghukum tiga golongan Syi`ah. Golongan Syi`ah yang paling ringan adalah Al-Mufadlilah. Ali dan Umar memerintahkan hukuman dera kepada mereka. Sedangkan golongan yang ekstrem dijatuhi hukuman bunuh menurut kesepakatan kaum muslimin. Mereka adalah golongan yang menganggap Ali dan lainnya sebagai tuhan dan nabi, seperti golongan Nushairiyah dan Ismailiyah, karena mereka lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani. Jika salah seorang dari mereka tidak menampakkan tanda-tanda seperti itu, mereka termasuk golongan munafik yang diancam dengan siksa neraka paling bawah. Sedangkan bagi yang menampakkan hal itu, ia termasuk sejahat-jahat orang kafir. Oleh karena itu, tidaklah  diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai golongan muslim, tidak pula dengan jizyah maupun zhimmah, dan tidak boleh mengawini wanita-wanita mereka, tidak memakan sembelihan mereka, sebab mereka termasuk orang-orang murtad yang paling buruk.

Jika mereka merupakan sekelompok penentang, wajiblah diperangi, sebagaimana diperanginya kaum murtad, sebagaimana diperanginya para pendukung dan sahabat-sahabat Musailamah al-Kadzdzab. Jika mereka berada di dusun kaum muslimin, pisahkan dan tempatkan mereka di antara kaum muslimin setelah bertaubat. Dan mereka harus mengikuti syari`at Islam yang diwajibkan kepada kaum muslimin secara konsekuen. Hukuman ini bukan hanya untuk golongan ekstrem Rafidlah, bahkan berlaku pula bagi orang yang bertindak berlebih-lebihan terhadap salah seorang syekh dengan mengatakan bahwa dia yang memberi  rezeki kepadanya telah gugur darinya kewajiban shalat, dia lebih utama daripada Nabi, atau dia tidak perlu lagi dengan syari`at Nabi, dia sebagai jalan menuju Allah, atau menganggap ada salah seorang dari syekhnya yang selalu menyertai Nabi Muhammad seperti Nabi Khidir menyertai Nabi Musa. Mereka yang berpendapat demikian adalah kafir dan wajib diperangi berdasarkan ijma` kaum muslimin, dan wajib dibunuh satu orang tertentu dari mereka.(Juz 28:474-475)      

Sikap Ahli Sunnah Waljama`ah terhadap Orang-Orang yang Menyembunyikan Bid`ahnya Berbeda dengan Sikap Mereka terhadap Orang yang Menampakkannya dan Menyeru kepadanya

Sikap ke-2 :
Sikap  Ahli Sunnah terhadap orang yang menyembunyikan bid`ahnya berbeda dengan terhadap orang yang menampakkannya dan menyeru kepada bid`ahnya.

Mengingat bahwa kelompok yang disebutkan terakhir terhadap orang lain, maka wajib menghentikan dan mengingkarinya, serta memberikan hukuman kepadanya seperti memutuskan hubungan dengannya atau dengan cara lainnya. Sedangkan terhadap orang yang menyembunyikan bid`ahnya, maka harus diingkari secara diam-diam dan ditutupinya, dengan tujuan mendudukan mereka seperti orang-orang munafik. Sebagaimana Nabi menerima orang munafik sebatas yang tampak dari mereka, sedangkan yang berhubungan dengan hal-hal yang mereka sembunyikan kita serahkan kepada Allah.

Siapa yang menyalahi Kitab yang jelas dan Sunnah yang terang atau apa yang disepakati Salaf umat,maka kesalahan tersebut tidak bisa dimaafkan, dan harus diperlakukan seperti memperlakukan ahli bid`ah. Kaum muslimin berpendapat agar memutuskan hubungan dengan mereka karena tanda-tanda penyimpangan yang mereka tampakkan. Termasuk terhadap mereka yang menampakkan bid`ah, yang menyeru kepada bid`ah, dan yang menampakkan dosa-dosa besar yang mereka lakukan.

Adapun terhadap orang yang menyembunyikan kemaksiatan atau bid`agnya yang tidak dikafirkan, tidak boleh memutuskan hubungan. Hijrah (pemutusan hubungan) dari orang yang menyeru bid`ah hayalah salah satu cara hukuman baginya. Dan yang harus dihukum adalah orang yang menampakkan kemaksiatan, baik perkataan maupun perbuatan. Sedangkan orang yang menampakkan kebaikan kepada kita, maka kita terima sebatas yang ditampakkannya, mengenai yang disembunyikannya kita serahkan kepada Allah. Inilah yang dicontohkan Nabi Saw.

Oleh karena itu, Imam Ahmad dan para Imam sebelum dan sesudah beliau, seperti Imam Malik dan lainnya, menolak riwayat dari orang yang menyeru kepada bid`ah. Dan tidak mau bergaul dengan mereka kecuali yang bersikap diam. Para penulis kitab shahih telah mengeluarkan riwayat dari sekelompok ahli bid`ah yang bersikap dia, tetapi mereka tidak meriwayatkan dari para penyeru bid`ah. (Juz 24:172-175)

Perlu diketahui bahwa hijrah (pemutusan hubungan) syari`at itu ada dua macam. Pertama, dalam pengertian meninggalkan kemunkaran. Sedangkan yang kedua, dalam pengertian hukuman atas kemunkaran tersebut. Maksud hijrah yang pertama adalah tidak menyaksikan kemunkaran tanpa ada keperluan. Berbeda halnya dengan orang yang hadir menyaksikan kemunkaran untuk menolak mereka atau hadir tanpa dikehendakinya. Hijrah ini termasuk jenis hijrah nafsiah (memutuskan hubungan dirinya) dari perbuatan munkar. Termasuk dalam hijrah ini adalah hijrah dari darul kufur dan fusuq ke darul Islam dan iman. Oleh karena itu, hijrah dari tempat tinggal kalangan orang-orang kafir dan munafik termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah.

Sedangkan pengertian hijrah yang kedua adalah dengan maksud mendidik. Yakni hijrah dari orang yang menampakkan kemunkaran sehingga ia bertaubat dari kemunkarannya. Sebagaimana hijrah yang dilakukan nabi beserta kaum muslimin dalam memutuskan hubungan dengan ketiga orang sahabat yang menolak untuk ikut berperang (maksudnya dalam perang Tabuk,penj.) sehingga Allah menurunkan ayat tentang taubat mereka. Hal itu dilakukan Nabi karena mereka jelas-jelas meninggalkan jihad yang diwajibkan atas mereka tanpa adanya udzur syar`i. Tetapi Nabi  tidak berhijrah dari orang yang menampakkan kebaikan, sekalipun ia munafik. Oleh karena itu, hijrah disini sama kedudukannya dengan ta`zir (hukuman). Sanksi ini berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan terlarang, seperti seseorang yang meninggalkan shalat dan zakat, atau orang yang melakukan kezhaliman dengan terang-terangan, termasuk juga orang yang berbuat keji. Sementara bagi penyeru bid`ah yang menentang Kitab dan Sunnah serta ijma` Salaf umat –yang tampak oleh kita tindakan bid`ahnya maka berlaku hukuman baginya.

Inilah hakikat ucapan Salaf dan para Imam:”Sesungguhnya orang-orang yang menyeru kepada bid`ah tidaklah diterima syahadatnya, tidak boleh shalat dibelakang mereka, tidak boleh menerima ilmu dari mereka, dan tidak boleh menikahi wanita mereka.” Ini merupakan bentuk hukuman bagi mereka sehingga mereka menghentikan perbuatannya.
          Oleh sebabitu, para Imam membedakan antara penyeru bid`ah dan yang bukan penyeru bid`ah. Orang yang menyerukan bid`ah berarti menampakkan kemunkarannya sehingga patut mendapat hukuman. Berbeda halnya dengan orang yang menyembunyikan bid`ahnya, ia tidak lebih buruk dari orang-orang  munafik yang sikap lahiriah mereka diterima Nabi, sedangkan apa-apa yang mereka sembinyikan diserahkan kepada Allah. Meskipun Nabi mengetahui banyak tentang mereka. Dengan demikian, orang-orang yang melakukan kemunkaran secara terang-terangan wajib diingkari, berbeda dengan orang yang melakukannya di dalam batin, hukuman baginya lebih bersifat khusus.(Juz 28:203-206 dan 216-217)

Barangsiapa yang melakukan kemunkaran, seperti berbuat keji, minu khamar, suka permusuhan, dan lainnya, wajib diingkari sesuai dengan kadar kemunkarannya. Sedangkan jika orang tersebut menyembunyikan kemunkarannya, dan kita tidak mengetahui dengan jelas,haruslah mengingkarinya dengan diam-diam dan menutupinya, kecuali jika telah melampaui batas. Orang yang melampaui batas haruslah dicegah dengan perlawanan. Karena jika mencegahnya secara diam-diam, maka ia tidak akan meninggalkannya. Lakukanlah sesuatu yang ia tidak sukai, seperti hijrah darinya atau dengan cara lainnya jika hal itu akan membawa kemaslahatan dalam agama.

Jika seseorang melakukan kemunkaran dengan terang-terangan, maka wajib mengingkarinya dengan terang-terangan pula agar dia jera, seperti memutuskan hubungan dengannya atau lainnya. maka tidak perlu mengucapkan salam kepadanya dan menjawab salamnya, jika pelaku kemunkaran itu tidak termasuk yang perusak berat.

Bagi orang yang baik dan ahli ad-Din hendaklah menjauhi mayatnya, sebagaimana menjauhinya ketika dia masih hidup, dan tidak perlu mengantarkan jenazahnya. Sikap seperti ini dimaksudkan agar para pelaku dosa seperti dia merasa jera.(Juz 28:217-218)

Para ulama tidak berbeda pendapat tentang bolehnya melakukan ghibah (mengumpat)  terhadap kedua golongan tersebut. Pertama, jika seseorang ,menampakkan kemunkaran dan kedurhakaan, seperti kezhaliman, kekejian, dan bid`ah-bid`ah yang bertentangan dengan Sunnah, maka wajib diingkari sesuai dengan kemampuan, dikucilkan, dan dicela. Berbeda dengan orang yang menyembunyikan perbuatan dosanya sehingga benar-benar tidak terlihat. Jika demikian, hendaknya ditutupi keburukannya dan dinasihati secara diam-diam. Akan tetapi, bagi orang yang mengetahui keadaannya bolehlah ia menjauhinya agar pelaku dosa tersebut bertaubat. Kedua, jika seseorang dimintai pendapatnya untuk menikah dengan pelaku perbuatan tercela ini, untuk bergaul dengannya, atau untuk menjadikannya saksi, padahal dia mengetahui bahwa tidak dibenarkan melakukan hal itu, maka hendaklah dia menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya. (Juz 28:219-220)

Jika seseorang meninggalkan shalat dan melakukan berbagai kemunkaran, kemudian bergaul dengan orang lain yang dikhawatirkan rusak agamanya, maka hendaknya dijelaskan agar menjauhinya. Dan jika ia seorang pelaku bid`ah yang menyeru kepada aqidah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah, atau meniti jalan yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan orang lain, maka haruslah dijelaskan kepada masyarakat agar berhati-hati dan mengetahui keadaannya. Hal seperti ini wajib dilakukan dengan cara yang baik dan semata-mata mencari ridla Allah. Bukan karena sentiment pribadi, seperti adanya perselishan duniawi antara keduanya, saling mendengki, saling membenci, atau bersaing berbuat kedudukan, sehingga ia membicarakan segala keburukannya dengan alasan member nasihat, padahal bertujuan untuk merendahkan martabatnya. Inilah perbuatan setan.

Sesungguhnya semua amalan tergantung pada niat, dan setiap perkara hanyalah mengikuti apa yang diniatkan. Oleh karena itu, orang yang member nasihat agar bertujuan agar Allah menjadikan orang yang dinasihati kembali kepada kebaikan dan sekaligus melindungi kaum muslimin dari bahaya orang tersebut, baik dalam urusan agama maupun dunia. Dan dalam member nasihat hendaklah menempuh jalan yang paling mudah jika memang memungkinkan. (Juz 28: 220-221)

Allah membolehkan membunuh jiwa seseorang demi menjaga kemaslahatan umat, sebagaimana firman-Nya:”Dan fitnah itu lebih jahat daripada pembunuhan”(Al Baqarah 191). Maksudnya, sekalipun di dalam pembunuhan terdapat keburukan dan kerusakan, tetapi fitnah yang disebarkan orang-orang kafir akan menimbulkan keburukan dan kerusakan yang lebih besar. Oleh karena itu, orang yang menghalangi kaum muslimin dalam menegakkan agama Allah, maka bahaya kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dalam hal ini para fuqaha berkata:”sesungguhnya penyeru bid`ah yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah haruslah dihukum dengan hukuman yang tidak sama dengan yang dikenakan kepada ahli bid`ah yang diam(tidak menyeru orang lain kepada bid`ah).” (Juz 28:355)

Sikap ke-3 :
Upaya-Upaya Syar`iyah Ahli  Sunnah Waljama`ah dalam Memperlakukan Ahli Bid`ah

Apabila Ahli Sunnah Waljama`ah mengungkapkan ahli bid`ah dan menjelaskan perihal mereka kepada khalayak, dan mencela tindakan mereka dengan lisan dan perbuatan, maka hal itu dilakukan dengan berpedoman kepada dua ketentuan syar`iyah yang asasi. Pertama, mereka melakukan hal itu secara ikhlas karena Allah, karena taat kepada-Nya, karena menunaikan perintah-Nya, serta mengharapkan adanya perbaikan. Bukan berdasarkan hawa nafsu, balas dendam, atau permusuhan duniawi.
Kedua, semua yang mereka lakukan berupa amalan syar`I yang diperintahkan sehingga dapat mewujudkan kemaslahatan dan menyingkirkan kerusakan sesuai dengan keadaan dan situasi yang berbeda-beda. Jika tidak demikian, maka perbuatan tersebut tidak disyari`atkan dan tidak diperintahkan.

Jika demikian, maka pemutusan hubungan sesuai dengan syari`at (hijrah syar`iyah) termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, ketaatan heruslah dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah dan selaras dengan perintah-Nya, sehingga keikhlasan itu menjadi amalan yang benar. Maka barang siapa memutuskan hubungan karena menuruti hawa nafsu, atau tanpa mengikuti perintah-Nya, berarti ia telah keluar dari ketentuan ini. Sering kali manusia melakukan perbuatan yang didasarkan pada hawa nafsu, namun ia sendiri menganggapnya sebagai ketaatan kepada Allah. Pemutusan hubungan yang semata-mata karena kepentinga manusia tidak boleh lebih dari tiga hari. Maka jika hijrah untuk tujuan seperti ini terhukum haram. Meskipun dalam beberapa hal manusia diberi keringanan, seperti dibolehkannya seorang suami untuk menjauhi istrinya di tempat tidur, karena sang istri nusyuz (membangkang).
Bertolak dari hal tersebut, haruslah dipisahkan antara pemutusan hubungan karena Allah dengan pemutusan hubungan demi kepentingan pribadi,. Niat yang pertama diperintahkan oleh Allah, sedangkan niat yang kedua dilarang. Karena, semua mukmin itu bersaudara.(Juz 28:207-208)

Oleh karena pemutusan hubungan merupakan salah satu dari tindakan hukuman syariat, maka itu termasuk jihad di jalan Allah. Dan hal ini dilakukan agar kalimat Allah tetap tinggi, serta menjadikan agama ini seluruhnya milik Allah (tidak tercampur bid`ah). Seorang mukmin, dalam memusuhi dan mencintai mukmin lainnya haruslah karena Allah.  Sekalipun mukmin lain yang harus dicintainya itu pernah berbuat aniaya terhadapnya, tetapi ia tetap mencintainya sebagai saudara seiman. Karena, kezhaliman tidak dapat memutuskan hubungan muwalah al-imaniyah (kasih sayang darena iman). Allah berfirman:”Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya…” sampai kepada firman-Nya:”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara…”(Al Hujurat 9-10). Orang-orang mukmin dijadikan bersaudara. Sekalipun mereka terkadang diwarnai peperangan dan penganiayaan, naumn Allah memerintahkan untuk mendamaikan mereka.

Maka seorang mukmin hendaknya memperhatikan perbedaan antara kedua hal tersebut. Jangan mencampuradukan yang satu dengan lainnya. Perlu diketahui juga bahwa orang mukmin harus didukung sekalipun ia berbuat aniaya dan berbuat melampaui batas terhadapmu. Sedangkan orang kafir harus dianggap sebagai lawan, meskipun ia berjasa dan berbuat baik kepadamu. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjadikan Din ini untuk-Nya. Maka seorang mukmin hendaknya mencintai dan memuliakan para kekasih-Nya yang telah       membela Din-Nya, dan membenci serta merendahkan musuh-musuh-Nya. Seperti halnya Allah memberikan pahala kepada para wali-Nya dan member hukuman kepada musuh-musuh-Nya. (Juz 28:208-209)
Hijrah (pemutusan hubungan) ini bermacam-macam sesuai dengan kekuatan, kelemahan, sedikit dan bayaknya jumlah pelaku hijrah. Yang dimaksudkan di sini adalah menjauhi orang dengan meninggalkannya dan mendidinya agar kembali sebagaimana keadaannya. Jika sikap ini membawa kemaslahatan berupa melemahnya kejahatan, maka hiijrah seperti ini disyari`atkan. Tetapi jika hal ini tidak menimbulkan ketakutan pada pelaku dosa ataupun lainnya, atau bahkan bertambah buruk, sementara yang melakukan hijrah dalam posisi lemah sehingga mafsadah yang timbul lebih menonjol daripada kemaslahatannya, maka hijrah seperti ini tidak dibenarkan syari`at. Bahkan bersikap lunak demi keutuhan persatuan lebih baik daripada memutuskan hubungan dengannya. Meskipun adakalanya memutuskan hubungan dengan sebagian mereka lebih baik dibandingkan bersikap lunak seperti itu.

Oleh karena itu, Nabi Saw terkadang bersikap lunak terhadap satu kaum, dan adakalanya memutuskan hubungan dengan sebagian lainnya, seperti yang dilakukan kepada ketiga orang sahabat yang menolak ikut dalam perang Tabuk. Hal itu lebih baik daripada memutuskan hubungan terhadap para muallaf sebagai pemimpin-pemimpin suku yang disegani. Karena dengan menjinakkan hati mereka akan membawa kemaslahatan bagi agama. Sedangkan ketiga sahabat tersebut merupakan orang-orang mukmin –sementara orang-orang mukmin seperti mereka masih banyak- maka pegecualian terhadap mereka merupakan kemuliaan agama sekaligus membersihkan dosa-dosa mereka. Sebagaimana syari`at dalam menghadapi musuh, kadangkala perlu diperangi, kadang-kadang perlu berdamai, terkadang pula dengan memungut jizyah, semuanya itu sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan yang ingin dicapai.

Jawaban Imam Ahmad dan para Imam Ahli Sunnah lainnya tentang perkara ini sebenarnya berdasarkan prinsip ini. Oleh karenanya beliau membedakan antara tempat-tempat yang didalamnya banyak terdapat bid`ah –seperti Basrah dengan Qadariyahnya, Khurasan yang banyak terdapat Jahmiyah, dan Kufah dengan Syi`ahnya –dengan tempat-tempat yang tidak banyak terjadi bid`ah. Demikian juga, dalam menghadapi Imam yang perlu ditaati dan yang tidak perlu ditaati. Jika beliau mengetahui syari`at, maka beliau tempuh jalan yang paling dekat untuk sampai kepadanya. (Juz 28:206-207)

Ishak bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad):”Siapakah yang mengatakan bahwa Al Quran itu makhuk?” Beliau menjawab:” Aku menghubungkan perkara ini dengan segala bencana.” Kemudian Ishak berkata lagi:”Apakah kita harus memperllihatkan permusuhan terhadap mereka atau membujuk mereka?” Beliau menjawab:”Penduduk Khurasan tidak mampu menghadapi mereka.” Jawaban ini berkenaan dengan pendapat beliau tentang Qadariyah. Beliau meneruskan:”Kalau kita tolak periwayatan hadits dari Qadariyah, niscaya kita tinggalkan periwayatan dari mayoritas penduduk Basrah. Meskipun sikap dan tindakannya dalam menghadapi ujian dan cobaan atas dirinya demikian besar seperti menolak kejahatan dengan cara baik-baik, berdiskusi dengan hujjah-hujjah yang kuat, mengisolasi mereka, melarang bergaul dan berbicara dengan mereka, sehingga mereka berhijrah di satu jaman yang bersih dari sumber-sumber kabair (dosa-dosa besar), maka perintah hijrah ini karena adanya sifat Jahmiyah pada diri mereka. Hijrah dalam pengertian pemutusan hubungan, termasuk salah satu jenis hukuman, dan hukum sendiri termasuk jenis hijrah. Hijrah seperti ini terkadang tergolong dalam jenis ketakwaan, bila di dalamnya meninggalkan keburukan. Terkadang juga masuk dalam jenis jihad dan amar ma`ruf nahi munkar. Hal itu merupakan hukuman bagi orang-orang zhalim.

Menghukum pelaku kezhaliman didasarkan pada kemampuan. Oleh karena itu, hukum syar`i terhadap kedua macam bentuk hijrah tersebut berlainan antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara sedikit dan banyaknya pelaku bid`ah, dan antara yang kuat dan yang lemah. Begitu juga terhadap hukum dalam berbagai macam kezhaliman, kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Semua yang diharamkan Allah adalah kezhaliman baik mengenal hak Allah, hak hamba, ataupun kedua-duanya.
Kedua bentuk hijrah yang diperintahkan itu –dalam artian meninggalkan kejahatan ataupun pemutusan hubungan-   hanya dapat dilakukan apabila benar-benar tidak ada kemaslahatan di dalamnya. Jika tidak demikian, maka hal itu bukanlah kejahatan, sebab bukanlah kejahatan itu di dalamnya terdapat kebaikan. Dan bila karena hukuman muncul mafsadat yang kuat pada kejahatan tersebut, maka hal itu bukanlah langkah kebaikan. Dan jika seimbang antara keduanya, maka hal itu bukanlah kebaikan juga bukan keburukan. (Juz 28:211-212)

Hijrah adakalanya dimaksudkan untuk meninggalkan keburukan bid`ah, seperti kezhaliman, dosa, dan kerusakan. Terkadang, juga dimaksudkan untuk melakukan kebaikan, seperti jihad, amar ma`ruf nahi munkar, serta menghukum orang-orang yang zhalim agar meninggalkan perbuatannya. Di samping itu, hukuman dimaksudkan agar pelakunya dapat memperkuat iman dan mau beramal shaleh. Maka hukuman terhadap orang-orang zhalim dapat mencegah kezhaliman mereka serta menggantikannya dengan perbuatan yang berdasarkan iman dan Sunnah.

Oleh sebab itu, jika kedua hijrah tersebut tidak membuat jera pelakunya –bahkan semakin bertambah kebatilannya sehingga mengalahkan kebaikan- maka dalam hal ini hijrah tidak diperintahkan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Imam Ahmad tentang penduduk Khurasan yang tidak mampu menghadapi Jahmiyah. Maka jika mereka tidak mampu menampakkan perlawanan terhadap golongan tersebut, gugurlah perintah hijrah atas mereka. Tugas mereka hanyalah mencegah bahaya agar tidak mempengaruhi mukmin yang lemah dan melemahkan hati pendurhaka yang kuat.
Sama halnya ketika ahli Qadariyah menjadi mayoritas di Basrah. Apabila periwayatan hadits dari mereka ditolak, tentu kita tidak dapat mempelajari ilmu, sunnah-sunnah, serta atsar yang terpelihara di kalangan mereka. Apabila menegakkan kewajiban sulit dilakukan, baik dalam hal ilmu, jihad, atau yang lainnya, kecuali menyertakan ahli bid`ah yang mudaratnya tidak sampai menggugurkan kewajiban tersebut –demi menciptakan kemaslahatan sekalipun di dalamnya masih terdapat mafsadat- maka hal ini lebih baik daripada bersikap sebaliknya.

Perbincangan persoalan ini sangatlah luas, dan banyak jawaban yang diberikan Imam Ahmad serta lainnya menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat memancing. Atau beliau sengaja keluar dari pokok persoalan –jika telah mengetahui keadaan penanya- agar tetap menempatkan persoalan menurut sumber dari Rasulullah.
Beberapa golongan melaksanakan hal tersebut tanpa pandang bulu. Mereka menerapkan hukuman isolasi (hijrah) dan pengingkaran yang tidak diperintahkan. Sedangkan lainnya berpaling secara keseluruhan, yakni tidak meninggalkan pelaku-pelaku bid`ah sesuai perintah Allah. Kalaupun mereka meninggalkannya hanyalah karena kebencian. Mereka juga tidak berusaha mencegah orang lain agar terhindar dari perbuatan itu, dan tidak memutuskan hubungan dengan dengan orang yang berhak menerimanya.  Dengan demikian, mereka telah mengabaikan nahi munkar. Mereka di tengah-tengah antara berbuat kemunkaran dan meninggalkan perintah. Begitulah Dinullah berada di tengah-tengah antara sikap ekstrem (berlebihan) dan jumud (meninggalka sama sekali) Allahu A`lam. (Juz 28:212-213) 

Sikap ke-4 :
Ahli Sunnah Waljama`ah tetap Mendo`akan Ahli Bid`ah agar Memperoleh Hidayah dan Rahmat-Nya, selama tidak Diketahui Kekufuran Mereka

Bagaimanapun juga, Ahli Sunnah Waljama`ah tetap endoakan ahli bid`ah agar mendapat petunjuk, rahmat, dan ampunan dari Allah selama tidak menampakkan kekufuran da kemunafikan mereka. Dan jika ahli bid`ah bercampur bersama kaum muslimin, maka Ahli Sunnah memperlakukan mereka sesuai dengan hak masing-masing serta tidak menolak bid`ah dengan bid`ah yang lain. Karena, yang penting adalah melindungi darah, harta, dan kehormatan kaum muslimin.


Berdasarkan nash, menshalatkan jenazah orang munafik tidak diperbolehkan. Kita mengetahui kemunafikannya berdasarkan kenyataan lahiriah, sedangkan hati mereka hanyalah Allah yang mengetahui. Pada waktu Nabi Saw menshalatkan dan memohonkan ampunan untuk mereka, Allah melarang beliau karena alasan kekufuran mereka. Hal itu merupakan dalil yang menunjukkan bahwa orang yang menyimpan kekafiran di dalam batinnya boleh dishalatkan dan dimohonkan ampunan untuknya, sekalipun ia melakukan bid`ah dan perbuatan dosa. Apabila Imam dan ahli ilmu, dan ahli agama tidak menshalatkan pelaku bid`ah dan kedurhakaan –dengan tujuan mencegah perbuatan mereka- maka hal itu tidak berarti larangan untuk menshalatkan dan memohonkan ampunan bagi mereka. Bahkan ketika Nabi tidak mau menshalatkan orang yang melampaui batas, orang yang membunuh dirinya, serta orang yang tidak mau membayar  utangnya, beliau berkata:”Shalatilah sahabatmu.” Diriwayatkan bahwa beliau memohonkan ampunan untuk orangn tersebut secara tersembunyi (dalam batin), sekalipun lahiriyahnya beliau meninggalkannya. Hal ini dilakukannya untuk mencegah orang lain berbuat seperti itu. (Juz 7:216-217)

Imam Ahmad misalnya, pernah bergaul dengan Jahmiyah yang menyerunya kepada keyakinan bahwa Al Qur`an adalah makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Mereka menguji Imam Ahmad dan ulama-ulama pada jamannya. Di samping itu, mereka juga membuat fitnah terhadap orang-orang mukmin yang tidak sepaham dengan keyakinan mereka dengan cara memukul, memenjarakan, membunuh, memecatnya dari jabatan, memblokade perekonomian, menolak kesaksian, serta membiarkan mereka tetap dalam penguasaan musuh. Ketika itu banyak tampuk pimimpinan dipegang oleh kaum Jahmiyah, semisal gubernur, hakim, dan jabatan lainnya. mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka. Hal seperti ini merupakan kekejaman Jahmiyah yang paling berat.

Sesungguhnya menyeru kepada suatu paham adalah lebih berat daripada sekedar mengatakannya, member imbalan kepada yang mengatakannya serta menghukum orang yang meninggalkannya adalah lebih besar dosanya dari sekedar menyerukan kepadanya, dan menjatuuhkan hukuman dengan membunuhnya lebih berat dosanya daripada memukulnya. Meskipun demikian, Imam Ahmad berdoa untuk khalifah dan lainnya –yang memukul dan memenjarakannya. Beliau pun memohonkan ampunan untuk mereka dan memaafkan mereka dari kezhaliman dan seruan mereka yang mengarah kepada kekufuran. Seandainya mereka termasuk orang-orang yang murtad dari Islam, tentu tidak boleh memohonkan ampunan bagi mereka. Karena memintakan ampunan bagi orang-orang kafir tidak diperbolehkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah dan ijma` Salaf. (Juz 12:488-489)

Darah dan harta kaum muslimin tetap suci sekalipun mereka dalam keadaan durhaka atau lainnya. Dan membatu orang keluar dari syari`at Islam adalah terlarang. Bagi orang yang berdiam di perkampungan pendurhaka, diwajibkan hijrah jika tidak dapat melaksanakan Dinnya. Tetapi, jika dia masih dapat melaksanakannya maka hanya disunnahkan berhijrah. Membantu pendurhaka untuk memusuhi kaum muslimin dengan jiwa dan harta merupakan perbuatan terlarang, dan wajib menolaknya dengan jalan apa pun, baik dengan mengumpat, menyindir, atau membujuk. Jika cara-cara seperti itu tidak memungkinkan, maka hendaklah berhijrah. Dan tidak diperbolehkan mencaci mereka secara keseluruhan serta menuduh mereka munafik.

Jika perkampungan tersebut menyakngkut darul harb (daerah perang) dan harus darus silmu (daerah damai), maka tidak sama dengan kawasan damai yang berlaku hukum Islam di dalamnya, karena adanya tentara-tentara muslim. Begitu juga tidak sama kedudukannya dengan daerah perang yang penduduknya kafir. Maka ia termasuk golongan ketiga. Maksudnya, orang muslim yang ada di daerah tersebut harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Adapun orang yang keluar dari syari`at Islam haruslah diperangi sebagaimana mestinya. (Juz 28:240-241)

Sikap Ke-5 :
Pandangan Ahli Sunnah Waljama`ah mengenai Shalat di Belakang Ahli Bid`ah

Syi`ar  Ahli Sunnah Waljama`ah jika berada di daerah kaum muslimin adalah melakukan shalat berjama`ah, shalat Jumat, shalat Id, dan mengikuti prinsip muwalah kaum muslimin.
Termasuk prinsip Ahli Sunnah Waljama`ah adalah melakukan shalat jama`ah, shalat Jumat, dan shalat Id. Mereka tidak meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjama`ah seperti ahli bid`ah dari golongan Rafidlah dan lainnya. Jika seorang imam tertutup keadaannya, yaitu tidak menampakkan bid`ah dan kedurhakaannya, maka dibolehkan shalat di belakangnya, baik pada saat shalat Jumat maupun shalat jama`ah lainnya, hal ini berdasarkan kesepakatan Imam kaum muslimin yang empat dan lainnya. Tidak satu pun dari Imam-imam itu yang melarang shalat di belakang imam yang tidak diketahui amalannya. Bahkan kaum muslimin sepeninggal Nabi tetap shalat di belakangn seorang muslim yang tertutup perilakunya. Adapun jika tidak mungkin melakukan shalat kecuali dibelakang pelaku bid`ah atau orang fajir, seperti shalat Jumat –sementara tidak ada lagi tempat Jumat lainnya- maka dibolehkan shalat di belakangya, menurut kebanyakan Ahli Sunnah Waljama`ah.

Sebagian orang ada yang tidak mau shalat kecuali di belakang orang yang benar-benar telah dikenalnya dikarenakan telah tersiar paham sesat. Hal ini dibolehkan, bahkan merupakan anjuran. Diriwayatkan bahwa Imam Ahmad mengatakan hal seperti itu ketika ditanya oleh seseorang, dan beliau tidak mengatakan bahwa shalat tersebut tidak sah.
Ketika Abu Amru Utsman bin Marzuq berkunjung ke negeri Mesir, ia memerintahkan para sahabatnya agar tidak melakukan shalat kecuali di belakang orang yang sudah mereka kenal. Karena pada waktu itu, raja-raja di negeri itu menampakkan kesyi`ahannya dan termasuk golongan bathiniyah malahidah yang menyebabkan tersebarnya bid`ah di Mesir. Setelah ia wafat, negeri-negeri itu ditaklukan oleh raja-raja yang berpaham as-Sunnah, seperti Shalahuddin, sehingga muncullah kalimah yang menentang Rafidlah. Dan berkembanglah Sunnah dan ilmu disana. Maka shalat dibelakang imam yang tidak diketahui keadaannya diperbolehkan menurut kesepakatan ulama muslimin. Barang siapa mengatakan bahwa shalat di belakang orang yang tidak diketahui keadaannya haram atau batil, berarti ia menyalahi ijma` Ahli Sunnah Waljama`ah.

Kewajiban seorang muslim jika berada di tengah kaum muslimin adalah melakukan shalat Jumat dan shalat berjama`ah bersama mereka, serta mencintai kaum mukmin dan tidak memusuhi mereka. Jika ia melihat sebagian mereka melakukan kesesatan atau kekeliruan, sedangkan ia mampu untuk meluruskan dan membimbing mereka, maka hedaklah ia lakukan. Tetapi jika tidak mampu, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Demikian juga bila dia mampu mengangkat pemimpin muslim yang lebih utama, hendaklah ia melakukannya. Jika ia tidak mampu melakukan semua itu, maka shalatlah di belakang orang yang lebih mengetahui Kitabullah dan Sunnah Rasul, serta mereka yang lebih menanti Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda di dalam hadits shahih:
“Jama`ah diimami oleh orang yang lebih pandai membaca Kitabullah. Jika sama-sama pandai membaca Kitabullah, maka dahulukan orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah. Bila sama-sama juga tingkat pengetahuannya dalam hal Sunnah, dahulukan yang iktu hijrah. Dan apabila sama-sama ikut hijrah, maka dahulukan yang lebih tua.” (HR. Muslim-Abu Dawud dari Abu Musa Albadri)

Kalau pemutusan hubungan terhadap pelaku bid`ah dan kedurhakaan lebih membawa kemaslahatan, hendaklah ia melakukannya. Sebagaimana Nabi Saw mengucilkan ketiga sahabat yang menolak ikut Perang Tabuk sampai taubat mereka diterima oleh Allah. Sedangkan jika imam dipegang oleh orang lain tanpa seizinnya, dan meninggalkan shalat jama`ah dan shalat Jumat di belakangnya tidak menimbulkan maslahat syar`iyah, maka tindakannya merupakan kebodohan dan kesesatan. Ia telah menolak bid`ah dengan bid`ah.(Juz 3: 280-286) 

Sikap ke-6 :
Sikap Ahli Sunnah Waljama`ah dalam Menjatuhkan Tuduhan Fasik dan Kafir bagi Allah Bid`ah

Ahli Sunnah sangat berhati-hati dalam mengkafirkan ahli bid`ah, khususnya jika mereka menakwilkan dengan cara yang wajar.

Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena dosa dan kekeliruan yang diperbuatnya, seperti masalah-masalah yang diperselisihkan ahli kiblat dan Khawarij pembangkang yang harus diperangi menurut Nabi Saw. maka Ali, salah seorang Khulafa ar-Rasyidin, memerangi mereka, demikian juga para Imam agama dari kalangan sahabat, tabi`in, serta generasi setelah mereka. Akan tetapi, Ali bin Abi Thalib, Sa`ad bin Abi Waqash, dan para Shahabat lainnya, tidak mengkafirkan mereka, bahkan tetap menganggap sebagai muslim meskipun mereka harus diperangi. Ali tidak memerangi mereka jika mereka tidak menumpahkan darah kaum muslimin dan menjarah harta mereka. Maka klaupun Ali memerangi mereka hanyalah untuk mencegah kezhaliman mereka, bukan karena kekafiran mereka. Oleh karena itu, beliau tidak menawan wanita-wanita dan tidak pula merampas harta mereka.

Kalau mereka yang telah jelas kesesatannya berdasarkan nash dan ijma` tidak dikafirkan –sekalipun diperintahkan Allah dan Rasul-Nya- maka bagaimana halnya dengan kelompok-kelompok yang masih berselisih dalam persoalan-persoalan yang di dalamnya masih terdapat kerauan? Maka tidak dibolehkan salah seorang dari kelompok-kelompok tersebut  mengkafirkan yang lainnya, serta tidak boleh menghalalkan darah dan hartanya, sekalipun padanya tampak perbuatan bid`ah. Bagaimana pula jika yang mengkafirkan sendiri melakukan bid`ah? Tentulah bid`ah mereka lebih berat. Dan ironisnya, mereka tidak mengetahui hakikat yang mereka perselisihkan.

Pada prinsipnya, darah, harta, serta kehormatan sebagian kaum muslimin adalah haram atas yang lainnya kecuali dengan izin Allah dan Rasul-Nya. Dan jika seorang muslim melakukan takwil dalam hal memerangi dan mengkafirkan, maka ia pun tidak dikafirkan, sebagaimana dikatakan Umar bin Khatab kepada Hatib bin Abi Balta`ah:”Ya Rasulullah, biarkanlah aku menebas leher orang yang munafik ini!” Maka Nabi menjawab:”Ia telah mengikuti Perang Badar, dan siapa tahu Allah memperhatikan orang yang mengikuti Perang Badar.” Kemudian beliau bersabda:” Lakukanlah apa yang kamu sukai, sesungguhnya aku telah mengampuni kesalahanmu.”Riwayat ini terdapat dalam Shahihain.(Juz 3:282-284)


[Baca...]





PANDANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA`AH TERHADAP AHLI BID`AH
YANG MENYALAHI SUNNAH DAN PARA PENGIKUTNYA

Oleh Syaikh Moh. Abdul Hadi al Mishri, Ma`alim Inthilaqatul Kubro, Penerj. Abu Fahmi

Ahli Sunnah Waljama`ah berpendapat bahwa bid`ah yang menentang Sunnah terjadi dalam perkara-perkara yang samar, dan ada kalanya terjadi berkenaan dengan perkara-perkara prinsip yang besar. Oleh sebab itu, pelaku-pelaku bid`ah bersama pendukungnya mempunyai tingkat penyimpangan yang berbeda-beda terhadap Sunnah. Sebagian mereka berselisih dalam soal lafazh dan asma`. Sebagian lagi berselisih dalam soal makna dan hakikat segala sesuatu. Berdasarkan hal tersebut, Ahli Sunnah Waljama`ah membagi bid`ah dalam beberapa bagian.
1.      Bid`ah yang tidak menyebankan pengkafiran terhadap pelakunya. Mengenai hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama, seperti bid`ah yang dilakukan kelompok Murji`ah dan Syi`ah Mufadillah.
2.      Bid`ah yang di dalamnya masih terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya pengkafiran terhadap para pelakunya. Seperti bid`ah yang dilakukan Khawarij dan Rafidlah
3.      Bid`ah yang para pelakunya dikafirkan berdasarkan kesepakatan ulama, misalnya bid`ah yang dilakukan Jahmiyah murni. (Juz 3:348)
Kelompok-kelompok yang menisbatkan diri kepada orang-orang yang mengikuti prinsip-prinsip agama dan kalam juga bertingkat-bertingkat. Di antara mereka ada yang menyalahi Sunnah dalam persoalan prinsip yang besar, dan ada yang menentang Sunnah dalam persoalan samar (bukan ushul).(Juz 3:348)
(1)   Para pelaku bid`ah yang tidak dikafirkan, menurut kesepakatan para ulama.
Adapun Murji`ah bukanlah termasuk bid`ah yang berat, bahkan telah masuk dalam paham mereka sejumlah ahli fiqih dan ahli ibadah. Mereka masih digolongkan Ahli Sunnah Waljama`ah sebelum sampai kepada tingkatan pemahaman bid`ah yang berat. Manakala kaum tersohor itu menisbatkan kepada irja` dan tafdili, barulah para Imam as-Sunnah yang terkenal berbicara dengan nada mencela Murji`ah al-Mufadilah untuk menjauhkan paham mereka.(Juz 3:357)
Tidak ada teks yang disampaikan Imam Ahmad bin Hambal yang mengkafirkan Murji`ah, karena bid`ah mereka termasuk jenis ikhtilaf fuqaha dalam persoalan furu` (cabang). Di samping itu, kebanyakan perselisihan mereka kembali kepada perselisihan yang menyangkut lafazh dan asma. Oleh sebab itu, pembicaraan mereka disebut dengan Bab al-Asma`, dan hal ini termasuk perselisihan para fuqaha, tetapi berkaitan dengan prinsip-prinsip ad-Din. Maka siapa yang menentangnya, dialah pembuat bid`ah.(Juz 12:485)
Demikian juga Syi`ah yang menganggap Ali lebih utama daripada Abu Bakar, mereka tidak dikafirkan, dan dalam hal ini tidak ada perselisihan di kalangan para ulama. Karena hal itu merupakan pendapat para fuqaha, sekalipun mereka membuat bid`ah (Juz 12:486)
Adapun Salaf dan para Imam tidak berselisih dalam hal tidak mengkafirkan Murji`ah dan Syi`ah Mufadlalah dan semisalnya. Juga tidak ada teks-teks Imam Ahmad bin Hambal yang mengkafirkan mereka (Juz 3:351)
(2)   Bid`ah-bid`ah yang di dalamnya masih terdapat perselisihan di kalangan para ulama, soal benar atau tidaknya pengkafiran terhadap para pelakunya.
Adapun Qadariyah yang mengakui ilmu, Rafidlah yang tidak ekstrem, Jahmiyah, dan Khawarij, mengenai pengkafiran mereka terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad[1], dan ini sebenarnya pendapat beliau yang mutlak. Meskipun sudah diketahu bahwa beliau bersikap netral dalam mengkafirkan Qadariyah yang mengakui ilmu dan Khawarij, dengan berkata:”Saya tidak mengetahui satu kaum yang lebih jahat dari Khawarij.” Sedangkan mengenai pengkafiran terhadap orang yang tidak mengkafirkan mereka, terdapat dua riwayat dari beliau. Tetapi, yang lebih shahih adalah bahwa beliau tidak mengkafirkan. Dan kadang kala terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal pengkafiran bagi yang tidak mengkafirkan secara mutlak, namun hal ini merupakan kekeliruan semata-mata.
Sedangkan menurut mayoritas ulama salaf, seperti Abdullah bin Mubarak, Yusuf bin Asbath, kelompok pendukung Imam Ahmad dan lainnya, Jahmiyah tidak termasuk ke dalam 72 golongan firqah yang berpecah-belah di kalangan umat ini. Akan tetapi, pokok firqah menurut ulama Salaf adalah Khawarij, Syi`ah, Murji`ah, dan Qadariyah. Inilah yang ma`tsur (diriwayatkan) oleh Imam Ahmad dan Imam-imam Sunnah dan Hadits. Mereka berkata:”barang siapa yang mengatakan bahwa Al Qur`an adalah makhluk, berarti dia kafir. Dan barang siapa yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat pada hari akhirat, dia juga kafir.”
Kemudian Abu An-Nashr As-Sajzi menceritakan dari mereka dua pendapat mengenai masalah ini. Pertama, ia adalah kufur, berpindah agama. Ia berkata bahwa ini pendapat mayoritas. Kedua, ia adalah kufur, tetapi tidak berpindah agama. Karena itu, Al-Khattabi berkata:”Sesungguhnya yang mereka katakana ini dalam rangka memberatkan.” Demikian pula perselisihan yang terjadi di kalangan generasi Muta`akhirin dari para pendukung kami perihal kekalnya mereka di dalam neraka. Pendapat ini merupakan mayoritas. Sebagaimana hal itu disebutkan dari kelompok ulama hadits terdahulu, seperti Abi Hatim, Abi Zar`ah, dan lainnya, sebagian dari mereka menolak pendapat yang menetapkan kekalnya mereka di neraka.(Juz12: 486-487)
(3)   Bid`ah-bid`ah yang tidak ada ikhtilaf ulama terhadap pengkafiran para pelakunya secara mutlak
Pada umumnya madzhab Imam Ahmad dan Imam-imam Sunnah, mereka mengkafirkan Jahmiyah karena mengingkari sifat-sifat Allah Yang Rahman. Mereka jelas-jelas menolak apa-apa yang dibawa Rasulullah dan rasul-rasul lain dari Kitab. Di samping itu, pendapat mereka pada hakikatnya mengingkari Yang Maha Mencipta, termasuk ingkar kepada Allah sebagai Rabb. Juga ingkar terhadap berita-berita yang datang dari Allah melalui lisan para Rasul-Nya. Oleh karena itu Abdullah bin Al-Mubarak berkata:”Sungguh kami ceritakan pembicaraan tentang Yahudi dan Nashrani, tetapi kami tidak bisa menceritakan pembicaraan Jahmiyah.” Ia pun berkata: “Tidak ada seorang pun dari Imam-imam Sunnah yang menolak mengatakan bahwa Jahmiyah itu lebih kafir daripada Yahudi dan Nashrani” Oleh sebab itu, mereka mengkafirkan orang yang mengatakan bahwa Al Qur`an itu makhluk, bahwa Allah tidak bisa dilihat pada hari akhirat. Demikian juga yang mengatakan bahwa Allah tidak berada di atas `Arsy, Allah tidak mempunyai ilmu, tidak berkuasa, tidak mempunyai rahmat dan kemurkaan, serta sifat-sifat lainnya. (Juz 12:486-487)
Imam ahmad telah meriwayatkan –demikian juga Imam Sunnah lainnya- akan hal tidak mengkafirkan Murji`ah. Sementara orang yang mengutip pendapat beliau dan Imam-imam lainnya mengkafirkan mereka, atau menjadikan mereka termasuk golongan bid`ah yang diperselisihkan kekafirannya sebab telah mencapai bid`ah berat. Dikutip dari Imam Ahmad dan Imam lainnya:”Sesungguhnya pengkafiran itu hanyalah terhadap Jahmiyah al-Mutasyabbihah dan yang semisal mereka.” (Juz 7:507)

Madzhab Ahli Sunnah Waljama`ah dalam menghukumi orang tertentu. 
Ahli Sunnah Waljama`ah memisahkan atara hukum mutlak bagi pelaku-pelaku bid`ah yang disertai maksiat, fasik, atau kufur, dengan para pelaku bid`ah tertentu orang yang menetapkan keislamannya dengan yakin- yang darinya lahir sejenis bid`ah dikarenakan maksiat, fasik, atau kafir. Mereka tidak menghukumi orang-orang tersebut sebelum benar-benar jelas ucapannya bertentangan dengan Sunnah. Itu pun harus dengan hujjah yang akurat dan menghilangkan syubhat. Sebagaimana halnya mereka juga memisahkan antara nash-nash ancaman yang mutlak dengan yang mesti diterima seseorang di akhirat kelak dalam hal ancaman (hukuman)ini.
Sesungguhnya aku termasuk orang yang paling tidak suka menjatuhkan hukuman kepada seseorang sebagai kafir, fasik, atau maksiat. Kecuali jika telah diketahui dengan jelas hujjah risaliyah yang menyatakan bahwa siapa yang menentangnya adalah kafir, terkadang fasik, atau mungkin maksiat. Aku mengakui bahwa Allah telah mengampuni umat ini dari kekeliruannya, baik meliputi perkara-perkara Khabariyah qauliyah maupun amaliah.
Riwayat yang diambil dari Salaf dan Imam-imam yang mengkafirkan siapa yang berkata begini dan begitu, memang benar. Tetapi dalam hal ini, harus bisa dibedakan antara yang ithlaq (secara umum) dan ta`yin (secara khusus). Inilah awal permasalahan yang menimbulkan perselisihan umat mengenai persoalan prinsip yang besaryakni ancaman. Sebenarnya nash-nash Al Qur`an tentang ancaman adalah mutlak, sebagaimana firman-Nya:”Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim…”(An Nisa 10)
Begitu pula nash-nash lain, seperti barang siapa mengajarkan begini, maka baginya patut mendapatkan balasan begini. Maka hal ini merupakan kebiasaan mutlak. Demikian juga bagi orang tertentu bisa terbebas dari ancaman (hukuman) karena taubatnya, karena kebaikan-kebaikan yang dapat menghapuskannya, karena musibah-musibah yang dialaminya yang dapat menebus dosa-dosanya, atau karena syafa`at yang dia terima. Dalam hal ini, pengkafiran itu termasuk ancaman, karena meskipun ucapan itu mendustakan sabda Nabi, namun boleh jadi orang tersebut baru masuk Islam atau hidup di pedusunan yang jauh terpencil.
Maka orang seperti itu tidak bisa dikafirkan berdasarkan pengingkaran ucapannya, kecuali ditegakkan hujjah kepadanya. Dan bisa jadi orang itu tidak mendengar nash-nash tersebut, atau mendengarnya tetapi tidak tetap menurutnya. Atau menurutnya ada yang menyangkalnya dari pihak lain sehingga ia harus melakukan takwil atasnya, sekalipun ia keliru. (Juz 3:229-231)
Pada prinsipnya, ucapan yang dianggap kufur terhadap Kitabullah, Sunnah, dan ijma`,ialah perkataan kufur yang diucapkan secara mutlak, sebagaimana hal itu ditunjukan oleh dalil-dalil syar`iyah. Karena iman itu termasuk hukum-hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Tak ada seorang pun yang patut menghukum berdasarkan sangkaan dan hawa nafsu mereka. Juga tidak patut bagi seseorang menghukumi orang lain dengan ucapan kafir, sebelum jelas kuat persyaratan yang membenarkan kekafirannya dan tak ada yang menolak pengkafirannya. Ontoh kalimat kufur yang tidak memenuhi syarat untuk dikafirkan adalah seperti orang yang mengatakan bahwa khamar atau riba itu halal. Sedangkan orang tersebut baru saja masuk Islam atau dia berdiam di pedusunan yang jauh. Atau seperti orang yang mendengar perkataan kemudian dia ingkari, karena dia tidak yakin bahwa pernyataan itu berasal dari Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah. Sebagaimana didapati sebagian Salaf yang mengingkari sesuatu hal sebelum ketetapannya diketahui jelas olehnya dari hadits-hadits Nabi. Sebagaimana pula para sahabat merasa asyik dalam hal-hal tertentu, seperti melihat Allah dan lainnya,  sehingga hal tersebut mereka tanyakan kepada Rasulullah. (Juz 35:165-166)
Sesungguhnya pernyataan bisa menjadikan kekufuran. Seperti pernyataan yang mengingkari kewajiban shalat, zakat, shaum, dan haji. Juga menghalalkan zina, khamar, judi, dan menikahi orang yang mempunyai hubungan mahrom. Akan tetapi, boleh jadi orang yang mengatakan demikian karena memang tidak mendengar. Demikian juga tidak mengkafirkan orang yang mengingkari hal-hal tersebut., seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup di pedusunan yang jauh sehingga tidak sampai kepadanya syari`at Islam. Maka, sekalipun mereka mengingkari apa yang diturunkan Rasulullah, mereka tidak dikafirkan jika memang tidak mengetahui bahwa hal itu berasal dari Rasul.

Adapun perkataan Jahmiyah termasuk dari jenis ini. Perkataan yang mengingkari Allah sebagai Rabb bagi mereka dan terhadap apa-apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Perkataan-perkataan mereka itu menjadi berat jika ditinjau dari tiga segi:
Pertama            : Nash-nash Al Qur`an, Sunnah, dan ijma` yang bertentangan dengan perkataan mereka banyak sekali dan masyhur. Tetapi mereka menolaknya dengan cara tahfir (menyimpangkan makna)
Kedua              : Hakikat perkataan mereka adalah mengingkari Allah sebagai Pencipta. Sekalipun di antara mereka ada yang tidak mengetahui kalau perkataan mereka menjadi sebab lazim dalam mengingkari Sang Pencipta. Sebagaimana halnya asal iman adalah pengakuan lisan kepada Allah, aka alas kufur adalah mengingkari Allah.
Ketiga              : Mereka menyalahi kesepakatan seluruh millah dan Ahlul Fithr As-Salimah (pemilik fitrah yang sehat). (Juz 3:354)
Tidak seorang pun dapat mengkafirkan seorang muslim, sekalipun ia keliru dan khilaf sehingga ditegakkan dan dijelaskan hujjah terhadapnya. Begitupun  bagi orang yang menetapi Islamnya secara yakin, tidak akan gugur keislamannya karena alasan yang meragukan. Bahkan ia tetap sebagai muslim sampai ada dalil tegas dan hilangnya kesamaran.(Juz 12:466)
Penyebab terjadinya perselisihan Ahli Sunnah dalam mengkafirkan Jahmiyah menurut tokoh-tokoh mereka adalah karena adanya pertentangan dalil-dalil yang mereka hadapi. Mereka melihat beberapa dalil yang mengharuskan pengkafiran terhadap Jahmiyah. Akan tetapi, mereka melihat bahwa orang yang mengucapkan kata-kata itu adalah orang yang beriman, da karena keimanannya itu belum layak disebut kafir. Maka menurut mereka, kedua dalil itu bertentangan.
Persoalan yang sebenarnya adalah bahwa mereka benar menurut lafazh-lafazh umum, mengenai perkataan para Imam yang membenarkan golongan terdahulu, dan yang menyangkut nash-nash pembuat syari`at. Mereka seluruhnya berpendapat dengan mengatakan:”Barang siapa yang berkata begini, maka ia kafir.” Kemudian pendengar mempercayai bahwa lafazh-lafazh tersebut dikenakan pada seluruh orang yang mengatakan seperti itu. Mereka tidak merenungkan bahwa pengkafiran diperlakukan syarat-syarat dan halangan-halanga yang menolak menyangkut hak orang tertentu. Dan pengkafiran secara mutlak tidak mengharuskan pengkafiran tertentu, kecuali jika didapati persyaratan-persyaratan dan tertolaknya halangan-halangan. Mengenai persoalan ini Imam Ahmad pernah menerangkannya, demikian juga para Imam pada umumnya yang memutlakan pengkafiran ini. Mereka tidak mengkafirkan kebanyakan orang yang mengatakan kesalahan seperti itu secara langsung. Ucapan da sikap Imam Ahmad dan para Imam lainnya jelas menunjukan bahwa mereka tidak mengkafirkan orang-orang tertentu dari golongan Jahmiyah. Yakni mereka yang mengatakan bahwa Al Qur`an itu makhluk, dan sesungguhnya Allah tidak bisa dilihat oleh hamba-Nya di akhirat.
Telah dinukil dari Imam Ahmad yang menunjukan bahwa ia mengkafirkan kaum tertentu. Untuk itu, ia berpegang pada dua riwayat, atau memasukan perkara kepada pengutamaan. Ia berkata bahwa siapa yang mengkafirkan bahwa di dalamnya ditemui persyaratan-persyaratan pengkafiran dan tertolaknya halangan-halangan. Dan bagi siapa yang tidak mengkafirkan secara langsung hendaknya menolak hal itu sesuai dengan haknya. Pendapat ini disertai dengan penyampaian pengkafiran menurut jalan umum. (Juz 12:487-489)
Dari pembicaraan tersebut melahirkan dua prinsip besar:
Pertama                : ilmu,iman, dan petunjuk merupakan hal-hal yang dibawa oleh Rasul. Maka orang yang menentang hal tersebut adalah kafir secara mutlak. Mengingkari sifat-sifat Allah adalah kafir. Demikian juga jika mendustakan kebenaran yang menyatakan bahwa Allah bisa dilihat pada hari akhir. Mendustakan bahwa dia di atas `Arsy, mendustakan bahwa Al Qur`an itu kalam-Nya, mendustakan bahwa Dia telah berbicara kepada Musa, mendustakan bahwa Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil, atau yang semakna dengan semua itu, maka yang demikian itu adalah kufur. Inilah makna pembicaraan Imam-imam Sunnah dan Ahli Hadits.
Kedua                  : Bahwa pengkafiran secara umum –seperti ancaman yang bersifat umum- harus ditetapkan secara mutlak dan umum. Adapun hukuman atas seseorang bahwa dia kafir atau masuk neraka, haruslah didukung dalil tertentu. Karena itu, penghukuman harus didukung oleh ketetapan-ketetapan persyaratannya dan peniadaan halangan-halangannya.(Juz 12:497)
Pengkafiran terhadap orang tertentu dari orang-orang bodoh (yakni orang-orang yang menentang Sunnah) dan yang semisal mereka –yang sering dihukumi sebagai bagian dari orang-orang kafir- tidak dibolehkan kecuali setelah ditegakkan hujjah risaliyah kepada salah seorang dari mereka. Yakni hujjah yang menjelaskan bahwa mereka benar-benar menentang para rasul. Sekalipun perkataan seperti itu tidak diragukan lagi sebagai perkataan kufur. Deikian pula pembicaraan mengenai pengkafiran orang-orang tertentu.
Meskipun bid`ah yang satu lebih berat daripada yang lain, dan sebagian pelaku bid`ah memiliki iman yang tidak dimiliki oleh sebagian yang lain, maka tidak boleh seseorang mengkafirkan seorang muslim yang berbuat salah atau keliru, kecuali jika telah jelas dan tegas hujjah atasnya. Barangsiapa yang berketetapan (teguh) imannya karena yakin, maka imannya tidak akan lepas karena alasan yang meragukan. Bahkan dia muslim selama-lamanya kecuali setelah ditegakkan hujjah, dan menghilangkan keragu-raguan. (Juz 12:500)
Sesungguhnya laknat termasuk ancaman, oleh karena itu dia dihukumi secara umum. Sedangkan seseorang yang dapat terbebas dari ancaman karena taubat secara benar, atau karena kebaika-kebaikan yang dapat menghapuskan ancaman, atau karena musibah yang menimpanya yang dapat menjadi kifarat, atau karena syafa`at yang diterimanya, atau karena sebab lainnya, dalam hal ini merupakan hak bagi pelaku dosa tersebut. Untuk itu tidak boleh menyatakan kepada orang tertentu bahwa ia akan mendapat surge atau mendapat ancaman neraka, kecuali telah ada dalil khusus. Tidak boleh menentukan mereka berdasarkan prasangka semata atau karena mereka termasuk dalam dalil umum. Sebab, boleh jadi dia termasuk dalam dua keumuman sehingga berhak mendapatkan pahala dan hukuman (siksa). (Juz 35:66-68 dan 282)
Sikap Ahli Sunnah terhadap Ulama Kaum Muslimin yang Melakukan Ijtihad dan Takwil.
Ahli Sunnah sangat berhati-hati dalam mengkafirkan atau menuduh fasik terhadap tokoh-tokoh bid`ah sebelum ditegakkan hujjah dan dihilangkan keraguan. Oleh sebab itu, mereka tidak membolehkan mengkafirkan atau menuduh fasik atau bahkan menuduh ulama-ulama kaum muslimin berdosa karena kekeliruan ijtihad atau terlalu jauh dalam mentakwil, khususnya yang menyangkut persoalan-persoalan zhanniah (dugaan) yang diperselishkan.
Sesungguhnya  Ahli Kalam kaum muslimin tidak boleh mengkafirkan salah seorang dari mereka karena semata-mata kekeliruan pendapat yang didasarkan pada ijtihad. Adapun kelancaran para penentang Sunnah dalam mengkafirkan ulama kaum muslimin merupakan kemungkaran terbesar dan hanya berasal dari kalangan Khawarij serta Rafidlah –ketika mereka meyakini bahwa kesalahan para ulama tersebut merupakan kesalahan di dalam agama.
Ahli Sunnah Waljama`ah telah sepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh dikafirkan karena kekeliruan semata-mata. Bahkan setiap orang (ulama) boleh diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali Rasulullah. Dan tidak patut bagi orang yang bisa ditinggalkan sebagian perkataannya karena kekeliruan dihukumi kafir, fasik, bahkan berdosa.
Telah dimaklumi bahwa larangan mengkafirkan ulama kaum muslimin yang berbicara tentang persoalan ini –ma`shumnya para nabi- bahkan penolakan pengkafiran terhadap ulama-ulama muslimin merupakan langkah paling tepat dari tujuan syar`iyah. Maka bagaimana mungkin ulama-ulama muslimin dapat dikafirkan dalam persoalan-persoalan yang bersifat sangkaan? Bagaimana mungkin jumhur ulama muslimin atau jumhur Imam-imam  Salaf serta tokoh-tokoh ulama bisa dikafirkan tanpa adanya hujjah sama sekali?

Pandangan Ahli Sunnah terhadap Pelaku Bid`ah Berbeda dengan terhadap orang yang telah jelas diketahui kekufurannya. 
Ahli Sunnah Waljama`ah memisahkan antara pelaku bid`ah dan ahli kiblat –betapapun bentuk bid`ah itu- dengan orang yang telah jelas diketahui kekufurannya dari Dinul Islam, seperti kaum musyrikin dan Ahli Kitab. Ini menurut hukum lahirlah pada umumnya, meskipun sebagian besar diketahui termasuk munafik dan berlaku zindiq di dalam batin.
Maka orang yang keliru di dalam sebagian persoalan ini –maksudnya persoalan aqidah, seperti tentang sifat-sifat Allah, qadar, iman, ancaman, serta lainnya- adakalanya dikaitkan dengan kaum kafir musyrikin dan Ahli Kitab, sekalipun menyangkut prinsip keimanan pada umumnya. Adakalanya dikaitkan juga dengan orang yang melakukan kesalahan dalam persoalan-persoalan kewajiban dan pengharaman, sekalipun hal itu juga berkaitan dengan persoalan prinsip keimanan.
Maka sesungguhnya iman itu dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban yang jelas mutawatir, di samping adanya sejumlah pengharaman terhadap barang-barang haram yang jelas mutawatir, yang merupakan prinsip keimanan dan tonggak-tonggak agama terbesar, dan bagi orang yang mengingkari hal tersebut adalah kafir berdasarkan kesepakatan. Meskipun, seorang mujtahid, dalam sebagian permasalahan prinsip tidak bisa dihukumi kafir karena kekeliruannya berdasarkan kesepakatan.
Jika demikian halnya, maka haruslah mengaitkan permasalahan ini dengan salah satu dari kedua golongan tersebut. Telah dimaklumi bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang melakukan kekeliruan, di antaranya ada yang mirip dengan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab. Maka orang semacam ini diserupakan dengan mereka. Terhadap hal ini telah berlalu perbuatan umat –baik masa dahulu maupun sekarang- yang menunjukan bahwa umumnya mereka, mukmin yang melakukan kekeliruan, pada diri mereka berlaku hukum-hukum Islam yang juga berlaku atas orang selain mereka. Hal ini karena diketahui bahwa kebanyakan pelaku bid`ah adalah orang-orang munafik yang melakukan nifak besar. Merekalah orang kafir yang kelak ditempatkan di dasar neraka. Mereka kafir secara batiniyah, dan jika diketahui perilakunya maka ia pun kafir secara lahiriyah. (Juz 12:496)
Setiap orang yang beriman kepada ajaran Muhammad Saw lebih baik daripada orang yang kufur terhadapnya. Sekalipun yang disebutkan lebih awal melakukan perbuatan bid`ah, baik bid`ah Khawarij, Syi`ah, Murji`ah, maupun Qadariyah. Maka sesungguhnya orang Yahudi dan Nashrani adalah orang-orang kafir yang telah pasti kekafirannya menurut ukuran Dinul Islam. Sedangkan pelaku bid`ah, jika memang masih tergolong bersesuaian dengan Rasulullah, padanya tidak ada hal yang menyalahi, maka ia tidak boleh dihukumi kafir. Andaikan dia dapat dikriteriakan kafir, maka kekafirannya tidak seperti orang yang mendustakan Rasulullah. (Juz 35:201)



[1] Akan dibicarakan tahqiq pendapat beliau mengenai Jahmiyah. Beliau mengkafirkan sebagian dan tidak mengkafirkan sebagian. Sehingga sebagian ulama menganggap ada dua riwayat dari beliau mengenai masalah ini, sekalipun beliau tidak suka berpendapat mengkafirkan mereka.

[Baca...]